Berbicara mengenai Korea Utara, apa yang pertama kali terbersit di benak anda? Militer, kerja paksa, nuklir, atau sosok pemimpin diktator mereka Kim Jong-un? Barangkali selain hal-hal diatas, satu yang sering dipopulerkan oleh media adalah statement “Korea Utara adalah negara yang menganut ideologi komunisme”.
Statement ini sangat bisa dipahami. Mengingat wilayah Korea Utara dulunya adalah bekas kekuasaan Uni Soviet di Semenanjung Korea. Dicengkeram oleh negara founding father komunisme, membuat ideologi ini melekat dekat dengan Korea Utara. Apalagi, Uni Soviet lah yang mengangkat Kim Song-ju (Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un) menjadi pemimpin tertinggi Korea Utara yang pertama. Selain faktor Uni Soviet, Korea Utara juga mengadopsi pernak-pernik komunisme, seperti lambang partai buruh mereka yang menggunakan simbol palu dan arit yang merupakan ikon khas komunisme, penggunaan bendera dan panji-panji berwarna merah, dan sistem satu partai dalam sistem politiknya.
Namun fakta sebenarnya, komunisme bukanlah ideologi yang dianut Hermit Kingdom (julukan Korea Utara). Menurut Owen Miller, seorang dosen sejarah dan budaya Korea Utara di School of Oriental and African Studies di London, Korea Utara telah menolak ideologi Komunis selama beberapa dekade, dan kegagalan AS untuk memahami keyakinan nilai ini dapat berdampak besar. “Ada dua cara untuk melihat hal ini: Pertama, deskripsi diri dan kedua, apa yang ingin digambarkan oleh para analis atau jurnalis tentang suatu tempat, mereka tidak menyebut diri mereka komunis...paham ini tidak disebut komunisme dalam bahasa Korea. Kata sosialisme digunakan, tetapi sekarang jauh lebih sedikit daripada beberapa dekade yang lalu.”
Jika kita tela’ah lebih dalam, prinsip utama komunisme adalah konsep perjuangan kelas, yang menyatakan bahwa sejarah didorong oleh konflik antara kelas-kelas sosial yang berbeda. Komunisme bertujuan untuk menghapuskan perbedaan kelas, yang pada akhirnya mengarah pada masyarakat tanpa kelas. Prinsip dasar lainnya adalah kepemilikan kolektif, yang menganjurkan kepemilikan masyarakat atas alat-alat produksi. Pendekatan ini berusaha menghilangkan kepemilikan pribadi untuk mencegah eksploitasi dan memastikan sumber daya bermanfaat bagi semua orang, bukan segelintir orang. Komunisme juga mendorong internasionalisme, menekankan solidaritas pekerja di seluruh dunia, dan mendorong kaum proletar untuk bersatu melawan eksploitasi kapitalis.
Prinsip-prinsip tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan praktik-praktik kenegaraan di Korea Utara. Meskipun rezim Korea Utara (dalam hal ini rezim keluarga Kim) berbicara tentang perjuangan kelas, rezim ini lebih berfokus pada kemurnian ideologi dan kesetiaan kepada negara daripada benar-benar menghapus perbedaan kelas. Faktanya, rezim ini telah menciptakan sebuah hierarki seperti kasta dalam masyarakat yang didasarkan pada kesetiaan kepada keluarga penguasa, yang disebut dengan istilah Songbun.
Mengenai kepemilikan produksi, Korea Utara mempertahankan kontrol negara atas ekonomi, tetapi kontrol ini lebih berfungsi untuk memperkuat kekuatan elit penguasa daripada mencapai kepemilikan kolektif untuk kepentingan semua warga negara. Perekonomian lebih memprioritaskan kepentingan militer dan negara daripada kepentingan bersama. Selain itu, tidak seperti ideologi komunis tradisional, yang menekankan kolaborasi internasional, Korea Utara dicirikan oleh nasionalisme dan isolasionisme yang kuat.
Lantas, jika bukan komunisme, maka apa sebenarnya ideologi yang dianut oleh bangsa Korea Utara? Dalam sidang Partai Buruh Korea ke-5 tahun 1970, Korea Utara memperkenalkan ‘Juche’ sebagai ideologi resmi partai di negara komunis. Kemudian, melalui revisi konstitusi pada tahun 1982, Juche ditetapkan sebagai ideologi resmi negara Korea Utara.
Pada awalnya, Juche muncul sebagai tanggapan terhadap situasi geopolitik dan historis tertentu yang dihadapi Korea Utara. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, Korea dibagi menjadi dua wilayah pendudukan: satu diduduki oleh Uni Soviet di Utara, dan yang lain diduduki oleh Amerika Serikat di Selatan. Pembagian ini membentuk dasar ideologi yang bertentangan, dengan Korea Utara menyelaraskan diri dengan komunisme Soviet. Namun, ketika Kim Il-sung menjadi pemimpin, dia menyadari bahwa membangun identitas Korea Utara yang berbeda adalah hal yang harus dilakukan. Identitas ini akan menyatukan Korea Utara dan membedakannya dari negara tetangganya di Selatan serta dari ideologi komunis yang lebih luas.
Menurut bahasa, “Juche” diterjemahkan menjadi “kemandirian,” yang mencerminkan filosofi yang menekankan kemandirian dan otonomi baik dalam konteks nasional maupun ideologis. Tidak seperti ideologi komunis tradisional, yang sering menekankan kepemilikan kolektif dan perjuangan kelas, Juche berfokus pada pentingnya individu dan tanggung jawab negara untuk memastikan kesejahteraan warganya.