Mohon tunggu...
Rangga Putra
Rangga Putra Mohon Tunggu... -

Lahir di Kota Pahlawan Surabaya dan besar di Kota Santri Gresik. Suka Bismillah dan Alhamdulillah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Junaedi Arief, Penjelajah yang Disusui Istri Kepala Suku hingga Dituduh Teroris

23 November 2011   12:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:18 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cuaca cerah menyelimuti Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat kemarin sore. Hanya gerimis memercik yang menjadi mainan beberapa bocah di seberang jalan. Di sebuah kantor media di Jalan Pangeran Antasari, seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di lobi. Dia pendek nan kurus. Tapi perawakannya terlihat kokoh. Dia menunggu. Kedua tangannya menggamit sebuah buku yang penuh stiker. "Junaedi Arief," orang itu memperkenalkan dirinya.

"Ini surat jalan saya. Saya juga mau minta cap di buku saya," sambungnya.

Junaedi Arief mungkin adalah orang pertama yang berkeliling Asia dan nusantara menggunakan kendaraan matik. Dia mulai menjelajah pada bulan Juli 2010 yang lalu. Hingga bulan November 2011 ini, dia telah menjelajah 18 negara dan 32 provinsi sebelum menggenapinya menjadi 33 di Kalimantan Barat (Kalbar). Di awal perjalanannya, bapak tiga orang anak ini langsung menyeberang dari Sumatera ke Singapura melalui Batam. Rute ini kemudian dilanjutkan menuju ke Malaysia, Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, India dan kemudian Pakistan.

Warga Cibiru, Bandung, Jawa Barat ini mengatakan, sejak SMP memang telah memiliki hobi touring. Selama lima kali episode touring, ia menggunakan Honda Supra X 125 untuk mengelilingi 10 negara pada 2006. Pada 2007, ia menggunakan Honda Vario ke 10 negara selama enam bulan. Pada 2008, ia menggunakan CS 1 ke 12 negara. Pada 2009, ia menggunakan Honda CBR 1000 cc berkeliling ke 40 negara. Perjalanan itu ia tempuh selama sebelas bulan. Kali ini ia kembali menggunakan Vario. "Itu semua biaya pribadi." ungkap kakek satu cucu itu.

Sebelum menyambangi kantor media massa tersebut, dia berkunjung ke Kantor Bupati dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kobar. "Di sini tidak ada bupatinya ya? Saya tadi ketemu Sekda. Oh iya, dinas pariwisatanya tidak punya brosur, saya tadi minta tapi tidak ada. Bagaimana mau promosi kalau tidak punya brosur?" kelakar pria kelahiran Jambi, 1 Januari 1969 itu.

Di antara semua negara yang pernah disinggahinya, tentu saja Junaedi mempunyai cerita yang menarik selain dapat mengetahui keanekaragaman budaya bangsa asing maupun budaya lokal. Pernah dalam satu kesempatan, dirinya singgah di pedalaman Vietnam. Tanpa mengetahui alasan yang jelas, kala itu tiba-tiba saja dia diangkat menjadi anak kepala suku setempat. "Sampai saya disusui sama istri kepala suku," kenangnya hingga tertawa.

Pernah juga dia ditahan di salah satu bandara di Jepang saat hendak terbang ke Filipina. Karena naik pesawat, maka motor yang digunakannya harus diparkir dalam keadaan tanpa minyak dan oli dalam perut sang burung baja. Roda depan pun harus dilepas. Karena lupa atau bagaimana, oli kendaraannya dia bawa menuju alat pemindai di ruang boarding. Olinya terpindai dan kontan saja dia ditangkap petugas bandara setempat. Dia diduga mau membakar pesawat. "Saya dituduh teroris."

[caption id="attachment_145339" align="aligncenter" width="403" caption="Penulis (kiri) bersama Junaedi Arief (kanan) ketika penjelajah ini hendak meninggalkan Kalimantan Tengah menuju Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu"][/caption]

Meski demikian, Junaedi mengaku paling kesal dengan ulah bangsanya sendiri yang tidak mempunyai sopan santun di jalan raya. Mungkin karena terlalu sering, hingga dia lupa sudah berapa kali dirinya ditabrak lari oleh pengendara lokal. “Saya paling kesal sama orang sini (Indonesia).”

“Paling suka di Timur Tengah, motor saya dinaikkan ke mobil bak dan diantar sampai perbatasan,” sambungnya lagi.

Di lain sisi, dia mengaku sebetulnya tidak ada kendala yang berarti ketika memasuki wilayah negara lain. Selain menguasai empat bahasa asing serta GPS, dokumennya lengkap, surat ijin mengemudi (SIM) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK), semuanya internasional. "Pihak kedubes RI pun menyambut dengan ramah, mereka yang bantu saya," papar mantan PNS Departemen Pariwisata itu.

Kotawaringin Barat

Terakhir kali dia berkunjung di kabupaten yang berjuluk Marunting Batu Aji ini adalah 15 tahun yang lalu. Dahulu, katanya, perjalanan dari Sampit, Kotawaringin Timur menuju Pangkalan Bun membutuhkan waktu empat hari karena kondisi medan yang rusak berat. Selang 15 tahun kemudian dia kembali menapaktilasi jejaknya. "Sekarang 4 jam saja, sudah bagus jalannya."

Sebagai salah seorang pengusaha perkebunan sawit di Sumatera, Junaedi melihat ada kesempatan besar di bidang perkebunan sawit dan sarang walet. Menurutnya, lahan di Kobar ini masih sangat luas, sehingga potensinya besar.

Tak terasa waktu menyelinap hingga tak kentara. Sore pun berganti petang. Dia tampak lelah setelah melayani permintaan puluhan pejabat dan pegawai media massa untuk foto bersama. “Sekali lagi terima kasih, silahkan klik google Junaedi Arief, semuanya ada di situ,” pungkasnya lantas menyalami satu per satu siapapun yang ada di TKP. Menunggangi Varionya kemudian memberi salam. Sosok mungilnya masih terlihat sebelum menghilang di balik cahaya merah ufuk barat bumi Maruntuing Batu Aji ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun