Oleh karenanya pers dilarang menyatakan seseorang bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan secara a contrario pers dilarang pula menyalahkan putusan hakim karena menyatakan seseorang telah bersalah. Tidak diindahkannya ketentuan ini menjadikan pers masuk mencampuri kemandirian peradilan, atau yang lazim dikenal sebagai contempt of court.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung bahwa contempt of court merupakan perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Ketentuan contempt of court ini semata-mata ditujukan untuk menjaga kesakralan dan kewibawaan badan peradilan, bukan ditujukan untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap pengadilan. Jangan sampai masyarakat tidak lagi mempercayai pengadilan hanya karena opini-opini pemberitaan.
Larangan untuk mencampuri proses peradilan melalui pemberitaan merupakan hukum yang berlaku umum baik di negara yang menganut sistem anglo saxon maupun eropa kontinental dan bahkan terdapat Negara yang mengancamnya dengan sanksi pidana (Ida Keumala Jeumpa, Contempt Of Court: Suatu Perbandingan Antara Berbagai Sistem Hukum, Kanun Jurnal Ilmu No. 62, Th. XVI (April, 2014), halaman 168 s.d. 174).
Dalam kasus Meiliana, pers telah terlampau jauh membuat pemberitaan dengan menilai benar salahnya putusan Majelis Hakim dengan menuduh Majelis Hakim telah melakukan uproffesional conduct dalam menjatuhkan putusan. Pemberitaan semacam itu jelas sebagai contempt of court karena bersifat merendahkan dan meremehkan Pengadilan.
Selain itu pula tidak dapat disangkal bahwa pemberitaan tersebut mengandung tekanan-tekanan baik secara terselubung maupun secara terang-terangan kepada Pengadilan tingkat berikutnya, mengingat perkara Meiliani sampai dengan saat ini masih berlanjut (interference with justice as a continuing process).
Campur tangan dan tekanan yang dilakukan pers dalam kasus Meiliana merupakan pelanggaran dari sub judice rule yang melarang penggiringan opini dalam pemberitaan yang berpotensi (reasonable tendency) maupun secara nyata (clear and present danger) membahayakan kemandirian peradilan.
Prinsip sub judice rule ini dimaksudkan agar pihak-pihak yang terlibat pada proses peradilan tidak terpengaruh oleh pemberitaan, yang dapat mengakibatkan mereka mengenyampingkan fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan.
Alih-alih menjalankan fungsi kontrol sosialnya, pers malah menjadi pendikte pengadilan (trial by press). Konsekuensi dari dilanggarnya sub judice rule ini adalah menurunnya kualitas putusan, yang pada akhirnya dapat menjadikan masyarakat antipati terhadap Pengadilan (Lihat Wahyu Wagiman, Contempt Of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005, Halaman 15 s.d. 16).
Tentu saja putusan pengadilan tidak akan dapat memuaskan semua pihak, karena terdapat pihak yang dikalahkan dan terdapat pihak yang dimenangkan sehingga suka tidak suka, terima tidak terima apapun yang telah diputus Pengadilan mesti dihormati.
Bukan sebaliknya, dengan mendelegetimasi lembaga peradilan melalui pemberitaan yang menyalahkan Hakim karena memutus perkara yang tidak sesuai dengan seleranya.