Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

254 | Hebat

19 Desember 2020   13:32 Diperbarui: 19 Desember 2020   13:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Car free Day buah batu, setiap hari minggu pagi hingga sekitar pukul sepuluh pagi, tidak ada kendaraan yang melintas di jalan itu. program pemerintah untuk menciptakan ruang kegiatan bagi warganya berolahraga, dan mempersempit ruang kendaraan bermotor bergerak demi mengurangi polusi yang terjadi pada bumi kita yang dicintai. Kegiatan yang penuh dengan makna, tapi sayang, olahraga bukan bagian dari kesukaanku. Memandang paras-paras cantik sang hawa, menonton orang bersenam, dan jajan adalah tujuan utama untuk menyempatkan waktu datang ke CFD, berkeringat? tidak perlu repot menggerakan tubuh, cukup bercakap denganmu secara langsung, sudah membuat punggung basah kuyup yang tidak kau lihat karna kebiasaanku memakai jaket, mungkin cucuran akan terlihat di kening yang keringatnya membasahi dan turun hingga pipi, aku selalu dengan cepat menyeka itu agar kau tidak menyadari, ah, tapi tanpa menyeka pun, aku yakin kau tidak akan memperhatikan, karna pandanganmu selalu terjaga dari memandang apa yang tidak seharusnya kau pandang.

Ternyata, CFD buah batu tidak kalah ramai dengan CFD dago, kota Bandung, atau mungkin setiap CFD dimanapun akan seramai ini? aku tidak terlalu tau, karna ya, selain hanya ke dago, aku tidak pernah datang ke cfd manapun, tidak setelah tau bahwa kamu membuka sebuah lapak disini. 

***

Beberapa minggu sebelumnya, aku tau titik koordinat tempat mu, tempat kamu setiap minggu pagi bersiap dari rumah membawa barang bawaan untuk dijajakan di pinggir jalan yang telah disediakan untuk berjualan, dengan menggunakan sepeda motor bersama sahabatmu, kamu bergegas mempersiapkan semua itu, satu persatu kau susun dengan rapih hingga semua siap untuk diperjual-belikan, dimana para mahasiswi lainnya (mungkin) memanfaatkan hari minggunya dengan rebahan dikasur selepas sembahyang subuh, atau memandangi media sosial artis dan aktor kegemarannya. Saat membayangkan semua itu, dalam pikirku, aku ingin sekali tidak mengenal dirimu, begitupun denganmu. Sesaat keinginan itu muncul, agar aku bisa berinteraksi dengan tanpa kegugupan sedikitpun, walau hanya sekedar interaksi tawar-menawar barang dagangan yang kau jual, aku bisa dengan bebas dan leluasa menikmati senyummu, yang tidak mungkin kau sembunyikan ketika menawarkan dagangan dan melayani pelanggan yang mampir ke lapakmu. Sepertinya itu akan sangat menyenangkan, tapi realitanya, itu tidak mungkin terjadi, dan mustahil akan terjadi, walaupun terjadi, pobabilitasnya akan sangat kecil.

perempuan ini (kau), sangat pantas menurutku untuk diperjuangkan, alasan demi alasan datang silih berganti, satu demi satu muncul, tidak ada yang saling menggugurkan, mereka datang untuk saling menguatkan. Aku harus memiliki cara agar dapat melihatmu pagi ini, tidak mungkin aku hampiri kau, kupukul dengan balok kayu atau batu, agar kau amnesia sementara, iyakan? yang ada aku akan kena pasal pidana dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Isi tempurung kepalaku dipaksa untuk sedikit kreatif, hingga pemetaan lokasimu berdagang aku gambarkan dengan detail, dari sudut mana aku bisa melihatmu dan kau tidak dengan jelas melihatku. Terhalang beberapa pedagang lain, masih sejajar denganmu, ke arah utara kota Bandung, ada kios bubur yang rasanya menurutku biasa saja, memang pada dasarnya aku tidak ingin menikmati sarapan yang tidak biasa aku lakukan, mungkin bubur ini akan terasa lebih lembut, gurih, dan tidak terlalu encer, ketika kamu duduk disampingku, dengan memegang semangkuk bubur yang kita makan berdua, dan sedikit bercakap dengan hangat. 

Dari bangku plastik yang mungkin jika aku tidak sedikit menahan posisi duduk, kursi itu akan rubuh, karna memang sudah reot, dan bobotku yang tidak bisa dibilang peot. Aku lihat saat itu kau mengenakan kerudung coklat (atau mungkin krem)? dengan baju luaran kotak-kotak? aku lupa. yang kuingat jelas, kau sedang menawarkan baju kepada seorang ibu yang menggenggam anak kecil, yang kurasa anak itu "aktif", terlihat dari raut kekesalan si Ibu saat menyuruh anaknya jangan terlalu banyak bergerak, maklum saja, ibu itu menjinjing belanjaan, mekanan, dan sekarang harus menjaga anak kecil sambil berbelanja, atau mungkin saja anak itu jajan berbagai macam hal yang harganya tidak masuk akal. Fokusku terbelah, karena sang ibu dan anak, tapi prioritasku masih padamu, yang sabar menghadapi si pembeli, dengan bersikap ramah, dan senyum yang merekah, hebat sekali wanita ini. Aku kagum pada apa yang kau lakukan. 

Aku terdengar seperti penguntit memang, aku sadar itu. Entah ini akan menjadi nilai baik, atau buruk darimu terhadapku jika suatu saat kau membaca, tapi aku hanya berusaha mencoba untuk jujur dengan apa yang aku lihat, lakukan, dan rasakan. Kau suatu hari (jika kita ditakdirkan bersama) akan memahami mengapa aku melakukan semua ini, ketidak sanggupanku untuk langsung berhadapan denganmu, serta alasannya. ketidak mampuanku untuk berkomunikasi secara normal denganmu, beserta alasannya. dan masih banyak lagi, beserta banyak alasannya.

Perempuan akan selalu mempunyai cara untuk berguna bagi kehidupannya, setidak-bergunanya-pun, perempuan akan selalu bisa dianggap berguna, karena tidak mungkin tidak bisa bebersih rumah atau sekedar mengurus anak, lelaki? kami, kaum lelaki dalam terminologi masyarakat sekarang, akan dianggap tidak berguna ketika tidak bisa menafkahi dan mencari uang bagi keluarga yang dimilikinya. Jika saat ini, kau (wanita) yang belum berkeluarga-pun, mampu untuk berjuang mencari uang, aku sebagai seorang lelaki tidak keren ketika aku tidak bisa memasak, mengurus anak, atau sekedar membersihkan rumah.  Setidaknya, itu yang aku pahami saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun