Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Vespa Tua, Pembawa Cinta

19 November 2020   14:32 Diperbarui: 19 November 2020   14:37 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wahabriaz253 on Pinterest

Roda dua, adalah kendaraan yang begitu praktis dan efisien untuk membelah kemacetan jalan perkotaan. Saya kira hampir semua orang mampu mengendarai dan memiliki kendaraan pengangkut orang ini. Ada berbagai jenis, ragam, rupa, dan warna, ada ratusan ribu pengendara roda dua lalu lalang setiap harinya. Ada kisah, ada lelah, ada cerita dari yang biasa, sampai yang menguras air mata. Banyak tekhnologi terbaru diterapkan pada kendaraan, dengan alasan keramahan lingkungan dari emisi gas buang. Saya sepakat dengan dasar ilmiah demi menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan bumi kita.

Cerita ini jauh sebelum kita perduli pada efek gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan, dan kesadaran saya akan polusi udara yang ditimbulkan dari hasil pembakaran motor Vespa dengan mesin 2 langkah (2 tak).

Hari itu adalah hari dimana hujan sedang gemar mengepung bumi, tepatnya pada bulan Desember. Setiap pagi aku selalu disuguhkan dengan halaman kos yang basah akibat guyuran hujan semalam, bagian belakang motor penghuni kos meninggalkan cipratan air hujan yang sebelumnya sempat menimpa kramik yang tak terlindungi atap kanovi.

Sebelum mandi, sempatkan untuk menyeka bagian belakang pantat Vespa tua yang terlihat eksotis, walau dengan cat yang sudah kusam dimakan usia. Pikirku, baiknya berkeringat sebelum membersihkan diri untuk mulai beraktifitas di kampus. Ibadah subuh menjadi hal yang tabu saat itu, pertama karena kesadaran, kedua lingkungan, ketiga yakni mata kelopak mata bagian atas dan bawah terlalu malas untuk  meregang dan berpisah.

Sebelum benar-benar mepet pada waktu kelas dimulai, aku masih tetap bersantai, melakukan ritual wajib dipagi hari, bukan membuang sisa makanan yang ada di perut, atau mandi biar wangi, tetapi seduh kopi dan menikmati penyakit yang dihisap melalui lintingan kertas di isi tembakau, bukan tembakau yang memabukan, hanya tembakau. Hari itu aku bertekad tidak akan memikirkanmu, memandangmu secara diam, atau bahkan sekedar menyebut namanu dalam buku absen. tekadku sudah bulat padat, seperti roda motor yang akan menopang perjalananku nanti. Agar rindu ini tetap syahdu dan terjaga dalam dada.

Belum lebih dari 5 menit aku bertekad, sosokmu terlintas dalam pikiran ketika ku memandang motor tua keluaran tahun 1973 itu. Aku membayangkan kau berada duduk di bangku belakang, dengan hijab panjang menjulang menutupi semua bagian yang dilarang diperlihatkan. kita menikmati perjalanan sore hari melewati komplek perumahan dengan kantong belanja yang tergantung di bagian tengah dekat dengan kaki-ku.

Kita begitu menikmati perjalanan yang tidak memakan waktu hingga 10 menit itu, ada banyak obrolan di tengah perjalanan yang beradu dengan bisingnya suara knalpot motor Vespa yang kita tunggangi. Kau sesekali mencubit manja bagian perut sampingku karena mungkin cemburu atas candaan yang kita lewati, tetapi lepas itu kau langsung memeluk erat melingkarkan kedua tanganmu dengan menja dari belakang.

Aku hanya bisa tersenyum tersipu, begitupun kamu. Sesampai didepan sebuah rumah yang berpohonkan tabebuya sbagai hiasan yang kau pilih karena mekarnya bunga berwarna indah dikala musim kemarau, kita disambut oleh sesosok anak kecil yang dengan berlari memeluk kaki kananku erat, sambil kau meng-elus rambutnya yang basah karena keringat sambil sang anak berkata "om sama tante dari mana?" Itu bukan anak kita, hanya anak tetangga yang kebetulan akrab dan sangat dekat.

Belum sempat mengetahui apa yang terjadi, aku dikagetkan oleh dering telfon yang masuk bertuliskan "Dosen Pa Deden", setelah ku angkat, beliau memberitahukan tidak ada mata kuliahnya untuk hari ini dan memintaku untuk memberitahukan kepada semua rekan-rekan di kelas. tetangga kamar yang memang dia satu kelas dan jurusan berkata "nyesel gw bangun pagi" setelah membaca jarkom yang ku kirim dalam grup blackberry messenger. 

Aku rasa, semua orang yang membaca jarkoman itu akan merasakan hal yang sama, aku termasuk di dalamnya. tapi untunglah, lamunan tatkala sedang bertekad untuk tidak memikirkanmu barang sehari, lamunan yang merubah sebuah penyesalan menjadi rasa syukur ketika melihat Vespa Tua,  menjadikan penyesalan itu hilang, hilang dan berganti menjadi sebuah doa dan harapan. Bahwa suatu hari nanti, apa yang ku lamunkan, apa yang kupikirkan, apa yang kuharapkan dapat tercapai dan terlaksana, atas ijin dari sang maha pembolak balik hati manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun