Kantin kampus sudah sangat sepi, sore hari menjelang maghrib.
Diskusi tidak henti dengan rekan-rekan dari HmI, berbalas argumen tanpa sebuah sentimen, dari mulai defini kata, prosa-prosa yang keluar dari jurubicara pemerintah, hingga filsafat Cinta. tenggelam dalam alunan retorika yang mendalam. Tidak ada kata diam dalam setiap pertempuran gagasan. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh rekanku diluar sana dahulu, dua hal yang tidak pernah bisa terpuaskan, Harta dan Ilmu.
sesekali kuhisap rokok putih yang tak pernah habis menemani diskusi kami, seruput kopi yang sudah mengenai "ampas" begitu terasa mengganggu di dinding lidahku, tapi inilah sebuah seni dalam diskusi. tak ada yang tidak nikmat, kecuali kita tidak pernah menikmati dan bersyukur. Satu-persatu kawanku beranjak dari kursi kantin yang terbuat dari besi, ada yang beralasan sudah ditelepon mami, atau bahkan menjemput kekasih hati.
Bagi anak kos sepertiku, alasan itu tidak akan berlaku, mau tidak mau harus bertahan sampai kata tak lagi terprosakan. Aku hampir menembus batas kemampuan berfikirku, sepertinya memalingkan badan dan pindah meja menjadi pilihan terbaik saat itu. Bukan tidak menghargai diskusi hangat sore hari. Tapi penat kuliah dari pagi harus diisi oleh sesuatu yang "sedikit tidak membebankan pisau tuhan".Â
Berselancar di sosial media akan selalu menjadi pilihan utama kaum muda, ya, aku termasuk didalamnya. Instagram kala itu belum seramai sekarang, twitter menjadi ujung tombak hiburan (atau mungkin beban?), melihat orang-orang berkeluh kesah, menceritakan apa yang dialaminya hari ini, kemarin bahkan harapan di hari esok, atau sekedar ritwit kata-kata bijak yang di cuitkan public figure.  Hingga saat ini, twitter buatku menjadi media yang paling asik untuk berkata bebas dengan batas, tanpa perlu risau dihiraukan atau tidak oleh followersku.
kolom pencarian menjadi jalan tercepat untuk menemukan akun gadis dengan senyuman manis itu, stalking pilihan terbaik mengetahui apa yang dirinya rasakan, pikirkan dan cara pandangnnya tentang hidup di hari ini. delapan menit yang lalu, dia mencuitkan sebuah kalimat "matahari sore terlihat begitu indah" dengan sebuah foto hasil jepretan gawai miliknya, aku lantas bangun dari duduk, berlari ketepi kantin yang tak terhalang oleh atap dan dinding tembok, menengok ke ujung langit sebelah barat wilayah. Sudah tidak terlalu nampak memang, karena terhalang pepohonan dan gedung perpustakaan, namun bayangan warnanya terlihat indah, berwarna jingga kemerahan, terasa hangat di pelupuk mata, dan sejuk di dalam dada.
Ku raih bangku plastik milik pedagang nasi ayam di kantin itu, untuk mendapat sudut pandang terbaik kala melihat matahari terbenam, kita melihat satu objek indah karya tuhan secara bersama, namun pada tempat yang berbeda, situasi yang berbeda, dan perasaan yang berbada. Dengan berbekal kertas sobekan makalah dan bolpoint yang diselpikan diantara sela kuping. kutulis beberapa bait kalimat teruntuk gadis yang selalu membuatku rindu, rindu dalam keheningan.
Nona, Jingga bukan warna kesukaanku, mungkin juga bukan warna kesukaanmu.Â
Tapi hari ini, aku akan mengingat satu warna yang tidak kusuka sebagai hadiah ucapan darimu yang kau tulis di media sosial.Â
Warna yang akan selalu kuingat ketika aku begitu merindukanmu, merindukan disudut terluar kantin kampusku.
Aku tidak ingin membagi kerinduan dengan mereka yang sedari tadi menemaniku, karena mereka tidak akan paham dan mengerti seberapa dalam rinduku setelah hampir empat jam tidak melihat senyumanmu.