Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung Besi Itu Tak Pernah Mendarat, Kak!

6 Desember 2024   00:17 Diperbarui: 6 Desember 2024   05:02 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desember selalu datang seperti luka yang tak pernah sembuh. Hawa dingin bekas hujan malam ini menembus hingga tulang, tapi aku tetap duduk di beranda, membiarkan kaki telanjang menyentuh lantai kayu yang dingin. Angin menggigit kulitku, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang luruh. Langit penuh awan, gelap, dan tanpa bintang. Aku menatapnya lama, seolah mencari sesuatu, tapi aku tahu yang kucari tidak ada di sana.  Ini tahun kedua tanpanya. Tanpa sosok Ibu yang pergi ke alam yang tak bisa kami rengkuh.  

Di dalam rumah, suara televisi mengisi keheningan dengan gemuruh berita malam, tapi aku tahu Ayah tidak sungguh-sungguh menontonnya. Suaranya hanya menjadi pengalih, pengisi ruang kosong di hatinya yang sama sekali tak tertutupi meski waktu terus berjalan. Sementara itu, di kamarnya, Mae pasti sudah bergulung di balik selimut, mungkin menangis dalam diam. Mae tidak pernah bicara soal Ibu. Aku pun tidak. Begitu juga Ayah. Rasanya, setiap kata tentangnya hanya akan menjadi garam yang ditabur pada luka basah yang menganga lebar.  

Tapi aku ingat semuanya, begitu jelas, seolah baru terjadi kemarin.  

Ibu tersenyum, wajahnya merona seperti bunga yang bermekaran di musim semi, bau melati menguar dari lehernya, ia membawa koper kecil sambil memelukku erat di ambang pintu. "Jaga Mae, ya, Sayang," katanya lembut, sangat lembut, seakan ia tahu. Seperti ia sadar bahwa kata-kata itu adalah titah terakhir yang bisa ia titipkan padaku. "Ibu tidak akan lama."

Tapi, ia tak pernah kembali. Senyumnya pudar saat taksinya hilang di persimpangan jalan. Selamanya.

Burung besi yang membawanya pergi menjadi penanda akhir. Langit menyelimutinya dengan rahasia yang tak pernah terjawab. Puing-puing sayap, koper yang dibawa, baju yang dikenakan, tak ada satupun ditemukan. Semua hilang ditelan samudra atau mungkin langit yang perkasa. 

Tuhan dan rencana-Nya memang penuh misteri. Aku sempat mengutuk Tuhan dan marah kepada-Nya. Namun, aku hanya bisa berucap maaf dan menyelipkan harapan setelah amarahku mereda. Andai Ibu bisa bersabar sedikit, dia akan melihat aku memegang piala gimnastik SMA tingkat nasional, bukan kabar dingin yang meremukkan hati meluncur dari mulut Ayah bahwa pesawatmu menghilang dari radar petugas bandara. 

Dan juga radar kami.

Kini rapalan doa dari Ayah, dari Mae, dari aku, terasa seperti ketukan di pintu kosong. Tidak ada balasan, tidak ada tanda. Hanya kenangan yang terus membayangi, terus menusuk, setiap kali Desember tiba.  

Angin kembali berembus, lebih dingin dari sebelumnya. Aku merapatkan sweaterku, meski tahu dingin ini bukan soal cuaca. Di beranda ini, aku merasa sendirian, meski Mae dan Ayah ada di dalam. Tapi aku tahu, mereka pun sendirian, kesepian. Kami bertiga hanya menjadi pulau-pulau kecil yang saling terpisah dari sesuatu yang dulu utuh.

Aku mendengar langkah kecil di belakangku. Pintu geser berderit pelan. Mae muncul, membawa sekotak biskuit cokelat yang sedikit penyok. Wajahnya tampak lelah, tapi ia memaksakan senyum.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun