Entah apa yang harus Abara sampaikan kepada kaisar. Yang jelas, untuk berdiri saja dia sudah tak sanggup. Terpaksa pedang bernodakan darah kering itu dilempar, lapisan perak mengilap yang melindungi tubuh dan kepala dibuang entah ke mana untuk mengurangi beban.
Abara ingin sekali menukar semua kekayaannya demi segelas air madu yang manis. Ia bahkan berpikir untuk rela menukar salah satu selir mudanya agar bisa melepas dahaga yang mulai menyiksa dan membunuh kesadarannya.
Ia memekik seperti anak kecil yang tersasar di tengah pasar. Memohon entah kepada siapa agar dilepas dari jerat siksa dahaga. Langit tetiba berubah menjadi gelap. Awan mendung bergemuruh membuat kudanya bangkit kemudian lari tunggang-langgang meninggalkan Abara.
Lelaki itu akhirnya tersenyum tipis. Setidaknya jika ia mati, tak perlu lagi melawan rasa haus yang membunuhnya secara perlahan. Seiring dengan awan mendung yang hampir sempurna menyelimuti hamparan pasir berwarna kuning keemasan, terdengar tawa parau menggema yang membuat bulu kuduk Abara merinding.
Awalnya ia berpikir bahwa itu hanyalah bunyi aneh yang dihasilkan sebelum badai. Namun, semakin dekat makin jelas pula bahwa suara itu adalah sebuah tawa yang parau.
Aneh, tawanya berat dan menggelegar.
Abara mendongak lagi ke arah langit yang telah gelap sempurna. Kegelapan itu menelannya dengan serakah, sehingga ia tak bisa melihat apapun kecuali bunyi tiupan angin yang ganas dan pasirnya memaksa Abara memejamkan mata serta menutup hidung dengan kain hitamnya.
Di tengah gemuruh badai itu, suara tawa kembali menggema dan mendekat. Tetapi Abara tak kunjung bersua dengan pemilik dari tawa tersebut. Sesekali ia membuka kelopak mata, tetapi segera tertutup sebab badai pasir menghantamnya dengan kejam.
Abara hanya berpasrah. Ia menerima kenyataan bahwa kematian akhirnya puas bermain-main dengannya. Abara merasakan dadanya sesak, paru-parunya telah penuh dengan pasir. Seumur hidupnya selama 26 tahun, puluhan kali memenangkan pertempuran di bawah panji Persia, tak pernah terpikirkan bahwa kematiannya adalah ditelan bulat-bulat oleh badai pasir.
Tawa itu kembali terdengar---menggema. Mengganggu konsentrasi Abara yang sudah merelakan kehidupannya. Rasa takut mulai mengungkung tengkuk hingga jemari kakinya.
Muncul sebuah perasaan yang memacu adrenalin Abara. Sebuah rasa yang membangkitkan hasrat hidup serta insting bertahan yang menendang-nendang perut dan dada.