Untuk kesekian kalinya kuda yang ditunggangi berhenti, jatuh dengan bunyi keras di atas pasir yang panas, melempar Abara ke depan hingga bibirnya yang kering mencium butiran pasir.
Lelaki itu terguling tiga kali seraya membuka penutup wajah sebelum akhirnya terduduk dengan napas yang berat dan wajah diselimuti pasir. Ia memaki-maki kudanya, selanjutnya mendongak seraya menyipitkan mata. Kini giliran sang matahari yang terik dimakinya sesuka hati.Â
Tindakannya justru membuat dahaga semakin menggerogoti lidah dan tenggorokan yang kering.
***
Mulutnya tak lagi bisa memproduksi saliva. Abara berusaha mengecap lalu menelan ludah, tetapi yang ditelan hanyalah udara kosong nan hampa. Dalam hati Abara berharap, seharusnya ia mati saja di medan pertempuran bersama pasukannya.
Biarkan kepalanya ditebas oleh pedang panjang yang melengkung kemudian menggelinding dan diarak oleh lawan, sementara literan darah memuncrat dari leher tak berkepala---membanjiri permadani pasir itu.
Biarkan saja tubuhnya yang mengenakan lempengan perak itu ditembus oleh anak panah hingga jantungnya meletus, Abara pun sulit bernapas sekalipun rahangnya megap-megap.
Namun takdir berkata lain.
Mereka masih ingin bercanda dengan Abara lewat sengatan terik matahari serta burung nasar yang terbang mengelilingi tubuh ringkihnya. Abara tak ubahnya mayat hidup yang tak bisa mati.
Kesatria yang lahir di wilayah barat Persia itu selamat dari pembantaian, saat pasukan utusan kekaisaran berusaha menduduki kerajaan kecil di wilayah Sungai Nil bagian Timur.
Andaikan kerajaan itu ditaklukkan, maka Semenanjung Persia adalah milik Kekaisaran Persia seutuhnya. Namun yang dipetik oleh Abara dan pasukannya adalah penyergapan serta kekalahan telak.