[caption id="attachment_389992" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi Letusan G. Sangiang dari jarak 62 km"][/caption]
Ketika kita menyebut Gunung Tambora, dalam bayangan para Geolog dan Vulkanolog adalah sebuah bencana yang maha dahsyat yang sempat tercatat oleh beberapa pendatang saat itu. Kekuatan letusan Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah yaitu 1,35 jut kali letusan Bom Atom Hirosima dan Nagasaki atau 8 Kali letusan Gunung Krakatau. Panasnya menyembur melubangi atmosfer dan mengubah iklim dunia. Tak ada musim panas pada tahun 1816 di Eropa dan Amerika Utara -- 'the year without summer'. Tambora turun ke dalam tanah beberapa ribu kaki, meninggalkan kawah besar di puncaknya dan Kaldera Tambora adalah Kaldera terluas di Dunia yang mencapai 9 km.
SITUASI SAAT LETUSAN TAMBORA 1815
Dalam Catatan Wohletz (2008), - Were the Dark Ages Triggered - Volcano-Related Climate Change- bahwa Sekitar 400 km ke arah timur dari Buitenzorg, yakni di Yogyakarta, residen Crawfurd sangat terganggu dan gelisah mendengar suara dentuman demi dentuman keras terus bersahutan mirip rentetan tembakan meriam. Ia juga beranggapan telah terjadi agresi mendadak dari musuh. Komandan militer setempat segera diperintahkannya bersiaga penuh. Satu detasemen pasukan sontak dikirim ke pos-pos militer terluar, untuk memastikan apa yang sedang terjadi sekaligus bersiap menjadi bala bantuan awal. Namun di tengah kesiapsiagaan dan kegelisahan itu, pelan namun pasti udara Yogyakarta mulai berubah. Matahari tak jua kunjung benderang meski jam telah beranjak siang, alih-alih justru kian memburam dan memerah. Tak lama kemudian langit laksana ditutupi mendung sehingga situasi kian meremang. Mendung itu lalu mulai mencucurkan muatannya, namun bukannya air hujan segar yang berjatuhan, alih-alih debu halus kering yang memedihkan mata.
Baik Raffles maupun Crawfurd tak sebersit pun menyadari bahwa ribuan kilometer di sebelah timur, di salah satu sudut gemerlap kepulauan Sunda Kecil, Surga sedang berubah menjadi neraka. Sebuah malapetaka berskala luar biasa sedang melanda pulau Sumbawa. Segenap penjuru kerajaan Sanggar, Pekat serta Tambora dicekam kepanikan dan ketakutan tiada tara. Selama berhari-hari Matahari tak menampakkan batang hidungnya sehingga suasana senantiasa gulita. Suara menggelegar terus terdengar dan saling berkejaran. Tanah bergetar berulang-ulang tanpa henti laksana diguncang-guncang dari perut bumi. Udara tak lepas dari hawa maut, sesak oleh pekatnya asap belerang dan debu.
Hujan debu mengguyur deras, ‘membedaki’ apa saja yang ditimpanya. Di tengah horor tersebut, kaki langit nampak memerah menampakkan siluet besar mengerucut yang menandakan Gunung Tambora, gunung yang selama ini dikenal ramah. Tiga sungai api meleleh dari puncaknya, membakar hutan serta padang rumput yang dilintasinya. Masing-masing hulunya memancurkan cipratan-cipratan bara pekat ke udara bersamaan dengan kolom asap tebal menembus ketinggian, seperti lengan raksasa yang sedang ‘meninju’ langit. Suasana mencekam kian menjadi-jadi seiring sambaran kilat berkali-kali.
Sebelum 1815, Gunung Tambora adalah gunung tertinggi di seantero pulau Sumbawa yang puncaknya menjulang hingga ketinggian sekitar 4.000 meter dpl (dari permukaan air laut) atau lebih. Demikian tingginya sehingga ia pun terlihat jelas dari pantai timur pulau Bali meski tempat itu berjarak 300 km lebih dari gunung. Gunung yang seakan memaku bumi pulau Sumbawa ini dikenal kalem.
Dalam catatan Global Volcanism Program Smithsonian Institution, letusan Gunung Tambora yang terakhir dan tergolong besar terjadi sekitar tahun 740 merujuk pada pertanggalan karbon radioaktif. Selepas itu selama lebih dari seribu tahun kemudian Tambora terlihat lebih ramah dan bersahabat. Dipadukan dengan kesuburan tanah dan melimpahnya air bersih, tak heran bila di kemudian hari kawasan seputar kaki Tambora menjadi lokasi hunian favorit manusia. Pada puncaknya tiga kerajaan pun tumbuh berkembang di sini, masing-masing Sanggar, Pekat dan Tambora. Ketiganya memiliki tata administrasinya masing-masing dengan kegiatan pertanian dan perdagangan yang sibuk. Hubungan perdagangan dengan mancanegara pun terjalin erat dan saling menguntungkan, seperti dengan Kampuchea (Kamboja) dan juga kekaisaran Cina.
Semua berubah secara dramatis pada April 1815. Letusan kolosal menyebabkan puncak Gunung Tambora terpangkas hebat sehingga ketinggiannya berkurang jadi 2.850 meter dpl. Tak hanya itu, kini puncaknya pun berganti dengan sebentuk kawah raksasa (kaldera) berdiameter sekitar 9 km dengan kedalaman maksimum 1.250 meter, menjadikannya kaldera terdalam di seantero muka Bumi.
KEMATIAN AKIBAT LETUSAN TAMBORA 1815
Jika suhu rata-rata magma saat tepat keluar dari perutbumi dianggap sebesar 850 derajat Celcius, maka energi termal yang dikeluarkan dalam Letusan Tambora 1815 ini mencapai 27.000 megaton TNT. Ini masih lebih besar dibandingkan jumlah energi potensial yang tersimpan dalam seluruh hululedak nuklir di Bumi di puncak Perang Dingin pada 3 dasawarsa silam, yang ‘hanya’ 20.000 megaton TNT. Jika kita bandingkan dengan ledakan bom nuklir Hiroshima, yang ‘hanya’ berenergi 20 kiloton TNT, jelas bahwa energi Letusan Tambora 1815 adalah 1,35 juta kali lipat lebih besar.
Sensus yang dilakukan Zollinger di tahun 1847 atas nama pemerintah kolonial Hindia Belanda (saat itu tanah Indonesia sudah dikembalikan ke Belanda sebagai hasil Kongres Wina 1815) menunjukkan dramatisnya dampak Letusan Tambora 1815. Korban jiwa langsung akibat letusan, yakni yang terkubur awan panas dan debu vulkanik tebal, mencapai 10.100 jiwa. Sementara korban jiwa tak langsung, yakni kelaparan dan wabah diare massif yang berkecamuk di pulau Sumbawa, mencapai 37.825 jiwa. Namun jika korban jiwa yang berjatuhan di pulau Lombok, Bali, Flores, Jawa bagian timur dan pulau-pulau lain disekitarnya akibat terjangan tsunami, kelaparan dan diare juga diperhitungkan, angkanya mungkin mencapai lebih dari 70.000 jiwa.
Zollinger juga mencatat banyaknya penduduk yang hengkang dari pulau Sumbawa, termasuk yang terpaksa dijual oleh orang tuanya, sebanyak 36.275 orang. Dengan demikian Letusan Tambora 1815 menewaskan 35 % populasi dan memaksa 26 % sisanya hengkang keluar pulau. Sehingga hanya menyisakan 39 % populasi yang masih berkukuh tinggal di tanah yang semula subur namun kini mendadak segersang Bulan.