Mohon tunggu...
Rangga Barmana
Rangga Barmana Mohon Tunggu... -

Seorang pembelajar setiap episode kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Slogan Effect!

18 Desember 2015   00:25 Diperbarui: 18 Desember 2015   00:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ternyata, sejak dahulu, bangsa ini dibangun atas slogan-slogan yang mantap dan populer sehingga mudah diingat oleh banyak orang. Ditambah lagi dengan agitasi yang dilakukan para orator-orator ulung bangsa sehingga dapat menggugah para pengikutnya. Sejak dulu Guru Bangsa kita H.O.S. Cokroaminoto juga menggunakan metode ini untuk membangkitkan semangat juang para pemuda di Surabaya waktu itu. Tidak kalah hebat, Bung Karno, sang murid dari Guru Bangsa juga memiliki kemampuan pidato yang luar biasa sehingga dapat memperkuat semangat para pejuang dan pahlawan ketika masa penjajahan. Bung Tomo, sosok yang bersahaja itu, juga mampu berpidato dan membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan kebengisan tentara Inggris yang akan menyerang Surabaya setelah dikeluarkannya ultimatum pada Residen Surabaya saat itu Jend. Soedirman. Semua yang mereka lakukan secara langsung dapat membawa kita pada kemerdekaan seperti yang kita rasakan saat ini.  

Sayangnya, sepertinya bangsa ini terbiasa dengan Agitasi model tersebut. Sehingga, pidato yang lantang dengan jargon yang jelas lebih disukai bahkan sangat "laku" dipasaran meskipun tidak paham apa yang dimaksud dalam pidato tersebut. Sebenarnya, permasalahannnya bukanlah pada jargon dan agitasinya. Tapi yang lebih penting dari itu semua yaitu pemahaman dan tanggungjawab terhadap. Ketika banyak masyarakat yang tidak paham maknanya, maka jargon hanya sekedar jargon tidak ada implementasinya. Pemahaman dan pengertian tentang suatu jargon dan suatu konsep hanya dapat di jelaskan dalam ranah praktis yaitu pendidikan. Dengan pendidikan yang baik, pengajaran yang jelas serta ilmu yang komprehensif dapat memberikan kejelasan tentang apa yang disampaikan. Sebenarnya yang diharapkan dalam pendidikan ini adalah sebuah kesadaran dan keinsyafan. Meskipun lebih lama, namun lebih mendalam sehingga kesadaran untuk bergerak didasari oleh landasan yang jelas.

 

Sama seperti apa yang dijelaskan oleh Bung Hatta yang selalu menekankan pentingnya pendidikan dari pada sekedar Agitasi atau jargon. Inilah yang diperjuangkan oleh Bung Hatta ketika beliau masih memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) . Bagi beliau, pencerdasan terhadap konsep lebih penting. Meskipun lebih lambat, namun hasilnya pasti. Masyarakat yang cerdas dan terdidik akan politik dan konsep. Memang sepertinya tahun-tahun penjajahan adalah tahun yang berat. Sehingga memerlukan jargon dan agitasi yang sangat kuat. Namun, ketika kemerdekaan sudah hadir, maka pendidikan lebih penting dari sekedar jargon. Jika saja ketika itu Bung Hatta tidak turun dari jabatannya sebagai wapres dan bertahan sedikit saja untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Bisa jadi saat ini cita-cita menerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai saat ini.


Mengingat hal tersebut sudah waktunya partai politik, elit dan pemerintah lebih mengedepankan pendidikan terhadap konsep yang akan dibawa dari pada sekedar jargon politik yang berisi angan-angan kosong tanpa mengetahui bagaimana caranya mewujudkan mimpi - mimpi politik tersebut. Semua elemen bangsa juga sudah harus bergerak dan berinvestasi untuk mencerdaskan keluarga, sahabat dan kerabat terdekat kita. Tidak untuk mencari kerja, tapi pendidikan memberikan kesadaran untuk menjalani hidup yang lebih baik.

Tentang slogan juga jadi teringat perkataan Pak Rhenald Kasali tentang generasi berwacana. Banyaknya slogan-slogan hanya memberikan efek sementara. Jika tidak dilanjutkan dengan aksi kongkrit maka hanya akan menjadi wacana belaka. Sudah saatnya kita memberikan bukti yang kongkrit terhadap apa yang kita slogan kan. Jangan sampai kita terbuai dengan slogan dan wacana yang digembar gemborkan. Kita juga harus lebih kritis dan lebih introspeksi pada diri kita sendiri. Karena jangan lupa bahwa pemimpin adalah representasi rakyatnya. Jika pemimpinnya senang berwacana dan slogan saja, maka bisa jadi rakyatnya adalah ahli slogan dan ahli wacana.

Merdeka !

Penulis merupakan alumni Forum Indonesia Muda (Bung Hatta Teladan Beta) dan Wakil Ketua BEM FTSP ITS 2013-2014

Pertanyaan Lebih lanjut ke https://ask.fm/RanggaBarmana

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun