DEMOKRASI BERKEDOK OLIGARKI
Â
Oleh:
RANGGA AFIANTO
(Mahasiswa Doktoral Ilmu Kepolisian STIK-PTIK)
Goresan tinta emas perjalanan panjang demokrasi Indonesia menemui titik buntu ketika dinamika politik hari ini mencerminkan tercorengnya iklim demokrasi yang telah dibangun bertahun-tahun, lintas rezim dan lintas kekuasaan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi pintu masuk bagi arus oligarki negeri ini menjadi suatu barometer bahwa sudah sepatutnya kita bertanya tentang sejauh mana keberdayaan demokrasi kita hari ini. Peta politik yang saling menipu dan membuat kuncian menjadi jurus jitu dalam strategi sistematis untuk memenangkan pertarungan.Â
Alih-alih melanjutkan program pembangunan yang telah dibangun dalam 2 periode kepemimpinan berikut dengan seluruh legacy yang telah dicapai di bidang infrastruktur, tata kelola pemerintahan, hingga konsep dan implementasi pemindahan ibukota menjadi alasan kuat untuk dapat mewariskan kepemimpinan melalui trah keturunan bak kerajaan monarki absolut yang tentu sangat tidak etis untuk dilakukan, terlebih oleh pemimpin dengan statistik popularitas dan tingkat kepercayaan publik yang tinggi.
Tidak berhenti pada spektrum pengaturan secara sistematis untuk dapat melancarkan trah keturunannya tersebut, namun juga pendalaman terhadap profil dari calon yang diusung pun sangat amat perlu dipertanyakan, ditengah komparisi kandidat lain dengan rekam jejak yang jauh lebih mumpuni dengan elektabilitas yang patut diperhitungkan.Â
Profil seorang Gibran Raka Buming Raka, seorang anak muda yang memiliki privilege  dari ayahnya menjadi suatu kendaraan mutakhir dan ampuh untuk melangkah tegap berdiri menuju kursi orang nomor 2 di negeri ini. Pertanyaan yang menggelitik adalah ketika kita masuk kedalam Bab mengenai studi komparisi antara Gibran dengan kandidat lain yang memang telah lebih dulu masuk dalam bursa pencalonan. Sebut saja Ridwan Kamil, Khofifah Indarparawansyah, Airlangga Hartarto, Erick Thohir, dan sederet kandidat lainnya yang tentu secara data dan rekam jejak dapat dikuantifikasi jauh lebih unggul dari sekedar seorang Gibran.
Apa yang kiranya sedang dimainkan oleh Sang Sutradara dari perhelatan hegemoni perpolitikan Indonesia hari ini? Â Satu hal bahwa hilir dari dinamika kontestasi politik ini akan bermuara pada tata kelola pemerintahan kita 5 -- 10 tahun kedepan, dimana hal ini bukan merupakan suatu hal lelucon belaka. Nasib bangsa bergantung pada dinamika yang terjadi hari ini. Suka tidak suka, hasil dari hegemoni politik ini lah yang akan menjadi warisan bagi anak cucu kita kelak, termasuk dalam realisasi cita-cita luhur untuk mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H