Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 38 Provinsi, salah satunya adalah Provinsi Papua. Pemberlakuan Udang-Undang  Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemeringtah Daerah dan Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi khusus diberikan kepada masyarakat Papua dalam rangka menginvestasi program pembangunan (rural development program). Daerah yang masih perlu mendapat perhatian dalam berbagai aspek fisik, infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia. Otonomi Khusus yang telah diberikan kepada rakyat Papua ternyata tidak secara langsung mengubah tuntutan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, konflik dan kekerasan masih sering terjadi, tidak jauh halnya pada masa sebelum otonomi khusus diberikan.
 Kesadaran hukum yang seharusnya sudah menjiwai jiwa raga warga negara Indonesia, untuk kondisi Papua jauh dari yang seharusnya. Pertikaian, peperangan antar suku, bahkan melawan warga pendatang bahkan sudah sering terjadi. Suku-suku yang ada di Papua memang memiliki kebiasaan unik yang memandang dirinya sebagai pusat dari semesta, terbaik dari semua, sehingga kepemimpinan Papua sangat sulit untuk disatukan. Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus  sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesua, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.
Otonomi Khusus Papua yang telah diberlakukan pada hakikatnya diniatkan sebagai obat penenang konflik dan polemik yang bergejolak di Papua saat ini. Akan tetapi dalam realitanya ternyata pelaksanaan otonomi khusus belum maksimal, bahkan dinilai gagal. Sebagaimana pendapat anggota Majelis Rakyat Papua, karena UU No, 21 Tahun 2001 memerintahkan pemerintah membuat peraturan namun tidak dilaksanakan. Selain itu, Pemerintah Pusat telah menggulirkan UU. No. 45 Tahun 1999. tentang pembentukan Provinsi Papua Barat dan Papua Tengah, walaupun akhirnya Papua Tengah dibatalkan oleh Mahkamah Konsitusi. Oleh karenanya, otonomi khusus yang diharapkan menjadi obat penenang, hendaknya mampu melakukan optimalisasi dalam beberapa hal sehingga konflik, polemik, dan ragam kekerasan yang terjadi dapat benar-benar terhenti, dan harapannya masyarakat papua menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera dapat terwujud dengan maksimal.
Peran pemerinah pusat yang dapat dilakukan dalam mengoptimalkan otonomi khusus di Papua yaitu mengoptimalisasi keberpihakan pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi khusus. Ketidakberpihakan pemerintah pusat kepada otonomi khusus Papua dapat dinilai setidaknya dari hal sebagai berikut, seperti; lahirnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Pemekaran Provinsi Irian Jaya sesuai dengan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Papua Barat, Kabupatenm Paniai, Kabupaten Mmikia, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Lahirnya Inpres ini dinilai telah memunculkan ketidakpastian hukum serta kebingungan bagi para pejabat publik baik di provinsi maupun di kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam menjalankan UU otonomi khusus Papua. Kekecewaan lainnya berakar dari inkonsisstensi kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua, di antaranya pemekaran wilayah di Papua, termasuk di dalamnya masalah dilantikkan Majelis Rakyat Papua Irian Jaya Barat.
Walaupun pada akhirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, kemudian dibatalkan dengan keputusan sidang pleno Mahkamah Konsitusi pada 11 November 2004. Kebijakan pemerintah ini menimbulakan demonstrasi besar-besaran di berbagai kalangan masyarakat Papua. Sehingga berdampak pada perbuatan anarkis dan kekerasan, yang tentunya yang akan menjadi korban yaitu aparat keamanan dan penduduk pendatang non-papua. Aksi besar-besaran ini direspon oleh DPRD Provinsi Irian Jaya dan Usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI No. 327/M 1999 tertanggal 5 Oktober 1999. Oleh karenanya, optimalisasi yang dibutuhkan yaitu keberpihakan pemerintah pusat terhadap aspirasi dan keinginan masyarakat Papua untuk mewujudkan niat mulai otonomi khusus No, 21 tahun 2001.
Adapun hasil utama perjuangan Otonomi Khusus yang akhirnya diakui dan disanggupi Pemerintah Pusat dalam Pembangunan di Papua yaitu; Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan Perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama(yang dijelaskan dalam Bab V bagian ke empat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Oton omi Khusus bagi Provinsi Papua). Â Peran Majelis Rakyat Ppaua ini yaitu ikut serta dalam merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragamanb kehidupan Masyarakat Papua, melestarikan Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambing daerah dalam bentuk daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakuyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, Masyarakat adat, dan hukum adat.
Rangga Aditya
Administrasi Publik - Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H