Hari ini ketika kita berbicara tentang 'waktu senggang', 'waktu luang', atau mungkin 'wektu selo' dalam bahasa Jawa, maka yang terlintas dalam benak adalah hal-hal yang berasosiasi dengan kesenangan, konsumerisme, dan kenikmatan. Tiga kata yang masih bersifat abstrak tersebut (kesenangan, konsumerisme, kenikamatan), jika diejawantahkan dalam konsep yang lebih bersifat konkret dan praksis, maka akan ditemui konsep-konsep seperti wisata, healing, touring, belanja, mall, spa, bioskop, dan berbagai hal yang secara substansi berlawanan dengan konsep yang lekat dengan aktivitas bekerja. Konsep-konsep tersebut merupakan manifestasi dari rasa keinginan untuk lepas dari kepenatan yang dihasilkan oleh aktivitas bekerja, baik secara fisik maupun mental.
Waktu senggang dalam pemahaman umum merupakan aktivitas yang disengaja sebagai antogonis dari laku bekerja. Maka, waktu senggang semacam ini eksistensinya tergantung dari eksistensi konsep lain, yakni 'bekerja'. Ia hadir bukan untuk dirinya sendiri, sebab merupakan respon dari situasi tertentu. Ia bukan merupakan sebuah pilihan sadar, sebab hanya sebatas reaksi spontan terhadap keadaan tertentu: perasaan lelah fisik dan mental, kemuakan atas hubungan-hubungan kerja, dan situasi lain yang tidak menguntungkan. Waktu senggang dalam pandangan mainstream adalah 'waktu lain' yang diadakan sekadar untuk berbeda dengan 'waktu bekerja'. Lebih jauh lagi, bahkan waktu senggang berasosiasi dengan kemalasan (laziness).
Dalam buku Kebudayaan dan Waktu Senggang karya Fransiskus Simon ( 2006: 60-66) dijelaskan bahwa waktu senggang ala Joseph Pieper adalah suatu waktu yang seharusnya tidak harus dipertentangkan dengan waktu bekerja. Pandangan umum yang mempertentangkan konsep waktu senggang dan laku bekerja, menurut Pieper, dilandasi pemahaman atas pengertian 'bekerja' sebagai kegiatan yang memadukan beberapa hal, seperti ketegangan antara kapasitas dan kapabilitas bertindak, kesediaan untuk menderita, dan kesiapan menjadikan laku bekerja sebagai wahana merengkuh makna terdalam dari kehidupan. Jika ketiga indikator tersebut yang dijadikan dasar dalam memahami laku bekerja, maka tidak mengherankan apabila waktu senggang lekat dengan kemalasan (laziness).
Kerja Sebagai Aktivitas Natural ManusiaÂ
Sejarah peradaban manusia yang terentang jauh ke belakang mencatat bahwa manusia tak pernah terpisah dari praktik 'bekerja' (Untuk memahami konsep Kerja menurut Karl Marx baca buku: Kapital karya Karl Marx; Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno; Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme karya Ken Budha Kusumandaru, dll). Bekerja, dengan berbagai konsep dan indikatornya, selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari sepak terjang manusia menjalani kehidupannya. Beberapa analisis sosial dari para pemikir bahkan mengklaim bahwa bekerja merupakan aktivitas natural manusia yang menjadi dasar fundamental untuk eksistensinya.
Karl Marx, misalnya, filusuf yang memproklamirkan Manifesto Komunisme bersama Fredrich Engels tersebut mempunyai beberapa perspektif untuk memaknai kerja dalam konteks kehidupan manusia. Pertama, Marx menganggap kerja merupakan penanda perbedaan antara manusia dengan hewan. Jika hewan 'bekerja' berdasarkan dorongan-dorongan instingtif untuk sekadar mempertahankan hidupnya, sebaliknya manusia bekerja dalam rangka mengkonkritkan ide-ide yang ada di dalam benaknya. Marx memberikan analogi dengan membandingkan cara kerja laba-laba dengan seorang arsitek. Laba-laba membangun struktur tempat tingggalnya yang rumit secara spontan dan instingtif, sebaliknya seorang arsitek, yang paling bodoh sekalipun, membangun bangunan berdasarkan konsep dan ide yang ada di dalam benaknya. Dengan demikian, di akhir pembangunan, sang arsitek dapat melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan: sudah sesuai atau belum dengan konsep atau ide awal yang ada di kepalanya; lebih baik atau lebih buruk dari konsep awal yang ada di benaknya; dan seterusnya. Hal ini yang menyebabkan manusia atau arsitek dapat melakukan revisi dan perbaikan. Revisi dan perbaikan yang dilakukan tersebut menjadi dasar berkembangnya kebudayaan manusia. Fakta ini yang tidak dapat ditemui di dunia hewan.
Kedua, bagi Marx, bekerja juga merupakan aktivitas khas manusia untuk mengubah alam. Dalam perspektif ini alam menjadi sesuatu yang memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia hanya dapat terpenuhi jika manusia mempunyai kemampuan untuk menundukkan alam. Kerja merupakan sarana manusia untuk mengembangkan kreativitas produktif. Di sisi yang lain, aktivitas kerja manusia terkesan menjadikan alam sebagai objek eksploitasi. Ketiga, kerja merupakan usaha manusia untuk menegaskan eksistensinya. Melalui praktik bekerja manusia menemukan rasa bangga, puas, dan bahagia. Bangga atas pencapaian kerjanya; puas dengan hasil kerjanya; dan bahagia bahwa pencapaian dan hasil kerjanya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus dihargai orang lain.
Selain Marx, Joseph Pieper juga memiliki pandangan terkait aktivitas kerja ala manusia (Fransiskus Simon, terutama halaman 62). Bagi Pieper, kerja merupakan aktivitas yang menggabungkan kapasitas untuk bertindak, kesiapan dan kierelaan untuk menderita, dan penerimaan atas fakta bahwa kerja merupakan wahana peleburan diri yang total dalam kehidupan dan organisasi sosial untuk mendapatkan makna. Dengan batasan-batasan semacam itu, maka waktu luang akan terlihat sebagai bentuk dari kemalasan (laziness). Namun, dengan menjadikan pandangan Thomas Aquinas: "Kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang hanya sebagai demi kerja semata", maka waktu senggang bukanlah suatu bentuk kemalasan.
Lebih jauh lagi, Pieper mendakwa bahwa hari ini kerja telah dikultuskan secara ekstrem. Bekerja akhirnya setara dengan berdoa. Orang yang tidak bekerja dekat dengan dosa. Pengkultusan kerja ini yang menyebabkan dehumanisasi di segala bidang kehidupan. Kerja bukan lagi sarana ekspresi eksistensi manusia yang bernilai sakral, serta tak mempunyai fungsi sosial. Dalam konteks aktivitas bekerja, manusia terjebak pada rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi.
Jika menggunakan perspektif Pieper tentang kerja, maka makna kehidupan manusia adalah kerja total. Manusia seperti tokoh Sisifus dalam buku Le Mythe de Sisyphe karya Albert Camus: bekerja tanpa tahu apa maknanya, namun demikian terus dilakukan. Seorang pegawai kantoran setiap pagi datang ke kantor mengerjakan tugas secara rutin seperti hari sebelumnya, dan sebelumnya lagi. Pada awalnya, pegawai tersebut mengerjakan semuanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Namun, ketika proses dehumanisasi dalam dunia kerja terjadi, seperti: pimpinan yang sewenang-sewenang; beban kerja yang melebihi kepatutan; apresiasi terhadap kinerja yang kurang; dan berbagai hal lain yang kurang menguntungkan bagi si pegawai, maka perlahan pegawai tersebut kehilangan aspek motivasi dan tanggug jawab dalam pekerjaannya. Selanjutnya, pegawai tersebut akan memaknai pekerjaannya di kantor sebagai sesuatu yang rutin dan kering akan makna. Pada tataran yang paling ekstrem bahkan ia hanya akan menjalaninya secara otomatis dan mekanis yang cenderung tanpa kesadaran. Berangkat kerja ke kantor merupakan aktivitas menggugurkan kewajiban semata.