Sebagai sebuah bangsa yang terbentuk melalui konsensus berbagai ide besar, Indonesia memiliki keniscayaan tentang fakta perbedaan dan keragaman yang tidak bisa ditolak. Â Penolakan terhadap keragaman dan perbedaan dapat dikatakan sebagai penolakan terhadap sejarah bangsa: pendurhakaan terhadap akarnya sendiri. Suka-tidak suka, falsafah negara yang kini bernama Republik Indonesia ini merupakan kristalisasi dan manifestasi dari ide Islamisme, Sosialisme, dan Nasionalisme a la Soekarno, ditambah lagi local wisdom seperti: gotong royong, tepo seliro, dan lain sebagainya. Ide dan local wisdom tersebut kemudian dibakukan dalam lima pandangan hidup bangsa, yakni Pancasila.
Di sisi yang lain, Keindonesian kita hari ini juga berkah dari kebesaran hati para raja pribumi dalam wilayah bekas jajahan Belanda. Mereka dengan 'suka rela' meleburkan wilayah kekuasaannya ke dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Faktanya, bermacam kerajaan lokal yang ada sebelum NKRI berdiri itu telah memiliki cara pandang dan falsafah hidupnya sendiri. Artinya, NKRI dibangun melalui penyatuan keanekaragaman falsafah, living value, dan tata cara berkehidupan yang menjadi identitas asli  masyarakat pra-Indonesia, termasuk terkait hal-hal yang sifatnya spiritual dan religius.
Semangat Moderasi Sebagai Ikhtiar Merawat Keindonesiaan
Keniscayaan akan keanekaragaman dan perbedaan harus menjadi kesadaran kita dalam merawat keindonesiaan. Mengingkari fakta keanekaragaman dan perbedaan sama dengan mengingkari asal-usul kita sebagai bangsa. Maka, hal pertama yang perlu dilakukan untuk menjalani kehidupan sebagai bangsa yang majemuk adalah mengakui adanya perbedaan dalam hal budaya, bahasa, tradisi, dan spiritualitas. Kedua, tidak hanya sekadar mengakui perbedaan, setiap anggota masyarakat perlu juga mengembangkan sikap dan perilaku yang mengisyaratkan sebuah pengakuan dan penghormatan akan adanya perbedaan. Keyakinan akan kebenaran suatu tata nilai atau moralitas cukup ditebalkan dan dikuatkan dalam konteks diri dan kelompoknya, tanpa harus menjatuhkan atau merendahkan tata nilai dan moralitas kelompok lain. Dalam tataran ini, sejatinya kita sedang berbicara tentang bersikap moderat.
Moderat dapat berarti 'di tengah'[1]. Artinya, sebagai sebuah sikap ia tidak mengambil sikap berlebihan atau ekstrem, baik ekstrem kanan atau kiri, liberalis atau konservatif. Hal ini juga berarti bahwa bersikap moderat merupakan usaha untuk mencari jalan tengah dengan berdasarkan pada rasionalitas dan kebijaksanaan. Sikap moderat sendiri dapat diterapkan dalm berbagai konteks ruang dan waktu: dalam hidup sehari-hari di dalam keluarga; dalam interaksi dengan warga sesama anggota masyarakat; dalam interaksi antar masyarakat yang berbeda keyakinan; dalam interaksi antara masyarakat dan pemerintah; dan lain sebagainya. Dalam semangat moderasi, seharusnya tidak ada yang menindas atau ditindas, tidak ada yang menghakimi atau dihakimi, tidak ada yang meminggirkan atau dipinggirkan, dan tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan. Moderasi mensyaratkan adanya dialog, tetapi bukan dialog yang bersifat satu arah. Dialog dalam semangat moderasi bersifat resiprokal. Terdapat unsur 'kesalingan' di dalamnya. Hanya dengan adanya 'kesalingan' maka tidak ada pihak yang dominan atau subordinant. Dalam bahasa Jurgen habermas hal ini berarti: "Komunikasi yang bebas penguasaan"[2].Â
Menyikapi Era Disrupsi Informasi Dengan Bersikap Moderat
Dalam konteks Indonesia hari ini, masih dapat dilihat ruang-ruang komunikasi diisi oleh suara-suara yang ingin membungkam suara yang lain yang tidak sejalan, satu perspektif kebenaran ingin meminggirkan perspektif yang lain, dan moralitas-moralitas subjektif tertentu ingin memaksakan kebenarannya kepada moralitas yang lain. Fenomena ini seperti mendapat panggung ketika gelaran politik berlangsung. Perbedaan-perbedaan suara, keyakinan, moralitas, dan pilihan sikap dijadikan 'peluru' untuk saling menjatuhkan. Ketika fakta perbedaan dikooptasi oleh kepentingan kelompok, maka yang ada adalah peminggiran, pensubordinatan, dan penindasan. Maka, di sinilah pentingnya untuk bersikap moderat.
Keadaan diperparah oleh fakta bahwa kita memasuki era disrupsi informasi. Kemajuan teknologi informasi menjadikan setiap orang memiliki kemampuan untuk memproduksi dan mendiseminasikan wacananya sendiri melalui berbagai macam aplikasi komunikasi terkini. Tsunami informasi pun terjadi. Masyarakat sulit membedakan fakta dan hoaks. Kebenaran tidak lagi ada pada substansi sebuah fakta, melain ditentukan oleh seberapa jauh dan banyak fakta itu 'dianggap' benar' oleh masyarakat: kebenaran mayoritas. Masyarakat yang punya kecenderungan untuk bersikap 'hitam-putih' pun akan terjebak pada dua kutub yang saling bertentangan secara ekstrem. Adapun mereka  yang mengedepankan semangat moderasi akan dipandu oleh rasio dan kebijaksanaanya untuk mencari jalan tengah, dan mengedepankan dialog serta tabayun. Maka, semangat moderasi dalam bidang apa pun perlu didiseminasikan secara luas dan berkelanjutan untuk mencegah keterbelahan yang ekstrem di dalam masyarakat kita yang memang majemuk.
[1] Afifudin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: Kajian Metodologis, (Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018), 5
[2] F Budi Hardiman, Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 7.