Dalam puisinya yang berjudul "Sajak Sebatang Lisong", WS Rendra menulis, "Apa artinya berpikir, jika terpisah dari masalah kehidupan.". Siapakah yang sedang disinggung oleh Rendra dalam pusinya tersebut: setiap orang yang berpikir atau kaum intelektual.
***
Siapakah sebenarnya kaum intelektual. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Â berseloroh dalam artikelnya yang berjudul "Kaum Intelektual Berganti Kelamin?", bahwa gambaran umum seorang intelektual adalah individu unik, bahkan aneh. Gus Dur menulis, ada seorang ilmuwan yang tengah mengetuk-ketukkan pipa rokoknya ke meja. Mendengar suara ketukkan tersebut, si ilmuwan tertegun sekejap, lantas menoleh ke arah pintu sembari berujar, "Silahkan masuk.". Absurd sekaligus aneh. Lelucon itu mungkin hanya gambaran lama tentang intelektual-intelektual nyentrik yang sering kita baca dan lihat, seperti Einstein yang tak pernah rapi rambutnya, Phytagoras yang menciptakan agamanya sendiri, dan John Nash yang sering berhalusinasi karena mengidap Schizophrenia. Akan tetapi, seorang intelektual setidaknya merupakan individu yang memiliki beberapa kemampuan khas, seperti; berwawasan, berpikir menggunakan rasio, dan memiliki daya kritis.
Franz Magnis-Suseno, seorang ahli pemikiran Marxisme, berpendapat bahwa seorang intelektual mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan kondisi-kondisi sosial-kultural objektif yang ada di tengah masyarakat ke dalam dimensi cita-cita dan pemikiran. Artinya, apa yang menjadi keresahan, masalah, dan bahkan mungkin keinginan atau harapan dari masyarakat diabstrasikan oleh seorang intelektual ke dalam bentuk konsep-konsep yang siap dipraksiskan demi kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kamampuan-kemampuan yang melekat pada diri kaum intelektual harusnya membuat mereka menempati posisi istimewa di dalam struktur sosial kita.Â
Plato dan Kaum Intelektual
Plato pernah menggambarkan sebuah tatanan negara ideal di dalam bukunya Republic. Negara ideal yang dimaksud oleh Plato mensyaratkan sebuah kondisi di mana tampuk kepemimpinan harus dipegang oleh seseorang yang memiliki wawasan luas serta kemampuan berpikir dengan rasionya. Plato menganalogikan tiga bagian tubuh manusia sebagai susunan di dalam negara: kepala, dada, dan, perut. Pemimpin negara disejajarkan dengan kepala dalam tubuh manusia, yang menekankan pada kemampuan akal, serta bersifat bijaksana. Hanya seorang intelektual yang paling mendekati dengan syarat yang diajukan oleh Plato tersebut.
Bahkan, Plato dengan jelas menunjuk seorang filsuf yang harusnya menjadi seorang pemimpin. Seorang filsuf diasumsikan memiliki wawasan tentang kehidupan yang luas, rasional, sekaligus penuh dengan kebijaksanaan. Plato berharap para filsuf pemimpin ini dengan kemampuan yang dimilikinya dapat menyejahterakan masyarakat.
Tanggung Jawab Kaum Intelektual
Antonio Gramsci, seorang filsuf sekaligus aktivis berhaluan Marxis Italia, menempatkan kaum intelektual pada posisi sentral di dalam analisisnya tentang perjuangan merebut hegemoni yang dilakukan oleh kelas buruh. Kaum intelektual dipercaya Gramsci mampu bersama-sama kaum buruh untuk mematahkan hegemoni kelas borjuasi.
Berangkat dari pandangannya bahwa perubahan sosial yang dicita-citakan oleh penganut sosialisme tidak akan terwujud jika hanya berpijak pada kredo 'keniscayaan runtuhnya kapitalisme' yang telah diramalkan Karl Marx secara ilmiah, Gramsci sejalan dengan Lenin, menganggap bahwa perubahan sosial hanya dapat terjadi jika dimaui atau dikehendaki. Artinya, otomatisme runtuhnya kapitalisme adalah utopis semata, dan harus diganti oleh kehendak atau kesadaran revolusioner dari kelas buruh.