Malam hari yang cerah dan tenang, uap-uap air berkelahi dengan udara dan melemparkannya pada daun-daun, tembok, jendela kaca dan apa saja yang disapa dingin menjadi embun.
Selepas sembahyang subuh; pagi itu begitu dingin.
Saya tahu saya seharusnya pergi mandi dan lekas meringankan beban kalut, membantunya mengemas kue-kue.
Walau memperlakukan saya begitu kasar belakangan ini, kalut tetaplah simbok saya.
Saya tahu bukan kehendaknya berlaku demikian, kalut hanya tak mampu menutup telinga dari suara-suara yang mengambil kuasa.
Namun pagi itu selimut menarik saya untuk memeluknya kembali. Selimut berkata bahwa sudah sewajarnya manusia membagi kehangatan pada benda mati bukan sebaliknya.
" Manusia punya darah yang dipompa terus-menerus di dalam tubuhnya sehingga mencipta panas tubuh, sedangkan benda mati tidak." kata selimut
Benda mati tetap dingin saat dingin, panas saat panas, basah saat tercelup air atau tergenang embun-embun dan kering saat tertiup angin. Saya jadi kasihan dengan selimut dan guling. Memang dari malam sudah dingin dan dengan datanganya embun semakin iba perasaan saya pada mereka.
" rohmati !"
panggil kalut
" rohmati !!" kalut berteriakÂ