Mentari begitu tajam memberondong sinarnya ke dataran aspal yang kasar dan keras sehingga air dalam tanah yang bersetubuh dengannya, menguap menjadi tirai-tirai udara yang pengap lagi apek.
Bersama dengan itu kawan-nya asap dari api pembakaran kendaraan bermotor, menghambur disana-sini, menyatu dengan aroma aspal gosong dan debu-debu ditiup ban menggelinding.
Genangan air berkilau cemerlang, dan daun-daun kering menghiasi sekeliling, juga pohon ketapang yang tersebar berjauhan dan sedikit.
Langit di biarkan sepi tanpa awan, begitu biru dan terang warnanya sampai seolah seluruh warna biru yang ada di permukaan mengendap ke langit.
Mentari putih bersih dan bulat penuh sehingga orang yang memandangnya lama-lama, matanya akan meleleh, terlena dan berpusing.
Angin tidak datang kali ini, setelah puas bermain semalaman bersama hujan.
Bunyi klakson, mesin yang berderam dan padam, bunyi langkah-langkah kaki, ban motor, ban mobil, becak , sepeda yang maju mundur terburu-buru dan peluit tukang parkir yang berpadu dengan suara ajakan mempersilakan.
" Monggo mbak!"
" Silakan mampir!"
" Mau cari apa?!"
" Monggo bu!"
" Non!"
" Dipilih!"
Perempuan itu diam saja, seolah-olah semua orang di sekelilingnya senyap tidak bersuara. Ia berjalan lurus dengan tatapan kosong yang aneh.