Gelas-gelas plastik terapung berserakan, bagai perahu bagi semut yang bertualang mencari remah-remah makanan; begitu tenang semut bertengger di permukaan gelas plastik sampai nasib mujur membawa angin mendorong gelas-gelas plastik berlabuh ke kaki meja prasmanan atau taplak yang terendam air.Â
Piring-piring kaca dan gelas kaca yang karam di dasar banjir menyisakan nasi selai bumbu kacang lengkap dengan biting sate terapung di permukaan. Kursi-kursi plastik semua njengkang, hanya satu dua yang masih berpijak di atas kakinya.Â
Atap terop menggelontorkan air yang jatuh serempak seperti air terjun membentuk tirai-tirai air yang dingin nan basah.Â
Panci bakso dengan kuahnya yang tercampur air hujan hingga membuatnya meluap dan membiarkan bakso-bakso bulat itu kampul-kampul tak tentu arah berpadu dengan luapan kuah rawon dan soto yang menjadikan air banjir itu bernuansa daging.Â
Di atas meja pramanan, koloni semut sedang adu arak-arakan; berpesta mereka diatas adonan koloke, capcay, dan nasi goreng.
Sementara itu sepasang pengantin membatu diatas kuade, saling berpelukan berbagi panas tubuh dengan riasan yang telah meleleh berantakan dan wajah pucat keriput kedinginan.Â
Lelah yang mereka sandang telah dikesampingkan, pakaian kuyup tak mereka gubris, mereka tetap berpelukan satu sama lain sejak hujan datang mengusir tamu undangan untuk kocar kacir sampai semua kekacauan itu tinggal menyisakan mereka berdua di sana.Â
Seandainya saja hujan turut lelah, atau memainkan iramanya sedikit lebih pelan niscaya mereka berdua ambruk dan kalah dalam perlombaan itu.Â
Tetapi hujan tidak menunjukan gelagat ingin mengalah jadi mereka harus bertahan dalam dingin dan basah itu sampai ayah mereka datang dan memberi sinyal untuk berhenti.
 ***