Mohon tunggu...
Randy Ramadhan
Randy Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Randy Ramadhan adalah seorang penulis, podcaster, programmer dan suka Filsafat. Penulis buku Surat Untuk masa depan (Penerbit El-Markazi, 2021) dan Bertanya tentang hidup (Penerbit El-Markazi, 2022). Kegiatan aktif di bidang Podcast Hidup dan Waktu, eksperimen projek dan untuk melatih logika berpikir dan merefleksikan dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

LGBTQ+ dan Ateisme boleh ada di Indonesia?

25 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 25 Juni 2022   12:04 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masyarakat modern saat ini mulai berubah secara seksual dan spiritual. Pada seksual masyarakat modern dapat memisahkan antara reproduksi dan seksualitasnya sendiri, sehingga mulai terbentuk hal hal baru yang mungkin masyarakat anggap buruk, dan tidak dapat menerima hal baru ini. Pada ateisme misalnya, masyarakat Indonesia merasa bahwa tidak beragama adalah hal yang menyimpang sebagai masyarakat Indonesia, karena mungkin saja ini berlandas pada stereotipe masyakarat Indonesia dan pencapaian pencapaian seperti menjadi negara beragama Indonesia yang cukup menduduki 5 besar, namun apakah kedua hal ini dapat diterima di masyarakat secara rasional?

Permasalahan yang selama ini terjadi adalah terkait keterikatan kita terhadap pancasila. Yang berupaya digunakan sebagai kacamata vertikal, atau disaring. Maksudnya adalah untuk menjalankan sila terakhir, kita harus demokrasi terlebih dahulu, atau untuk menjadi manusia yang manusia, kita harus beragama terlebih dahulu, bukankah ini hal yang tidak mengindahkan? Bapak Soekarno telah membuat pancasila dengan begitu indahnya, namun masyarakat menggunakannya secara salah.

Kita harus buat pancasila ini secara horizontal, bukan vertikal. Pancasila ibarat sebuah rumah yang menampung 5 pintu yang berbeda. Ibaratnya adalah orang yang gemuk, harus masuk ke pintu yang sesuai dengan ukurannya sehingga dia bisa masuk, bukan di paksakan untuk masuk ke satu pintu yang sempit. Ini yang terjadi selama ini di negara tercinta kita.


Kembali ke konteks LGBTQ+ dan Ateisme, dapat dikatakan bahwa, memang kedua hal ini bertentangan pada sila pertama terkait ketuhanan, namun mereka bisa masuk ke berbagai pintu seperti humanisme, nasionalisme, demokrasi dan sosialisme.
LGBTQ+ dan Ateisme boleh di Indonesia, dengan harapan mereka memiliki kontribusi yang baik untuk masyarakat. Untuk menjadi manusia yang manusia kita tidak melihat gender apakah dia atau beragama tidaknya dia, namun seberapa manusia kah dia. Untuk membela negara, kita tidak perlu memikirkan apakah dia LGBTQ+ atau Ateisme, namun apakah ia memegang cita cita negaranya atau tidak. Begitupula dengan demokrasi dan sosialisme.

LGBTQ+ dan Ateisme tidak di bolehkan ketika mereka mempromosikan dan memaksakan labelnya kepada masyarakat, atau memaksa masyarakat menjadi seperti mereka, dan bahkan apa yang kita yakini selama ini, agama, budaya, dan hal yang umum di paksakan kepada mereka yang LGBTQ+ atau ateisme, bukankah kita yang tidak bermoral jika seperti itu?

Kesimpulannya adalah, segala bentuk hal bisa masuk ke Indonesia dengan bebas, namun jelas diperlukan sebuah wawasan dan kebijaksanaan masyarakat untuk menangkap konsep dan gagasan mereka. Bapak Soekarno menciptakan pintu yang membuat masyarakat bisa bebas keluar masuk pintu itu, namun scara eksplisit bapak Soekarno menginginkan kita selalu rasional dan bijaksana untuk merespon mereka. Begitu pula mereka, diperlukan kebijaksanaan untuk melakukan segala yang baru itu di negara kita. Terutama sebuah konsep yang abstrak seperti ini.


Tujuan kita bukan hanya untuk menjadi masyarakat yang baik, tapi masyarakat yang dapat memajukan negaranya dengan luar biasa. Ketika negara lain memikirkan tentang pemanasan global, namun kita masih berdebat dengan masalah yang sebenarnya bukan masalah, bukankah kita sia sia? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun