Mohon tunggu...
Tamher Madubun Randces
Tamher Madubun Randces Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Widyagama Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memaknai Klaim Kemenangan Paslon

20 April 2019   22:29 Diperbarui: 20 April 2019   22:52 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca beberapa hari Pemilu (Pilpres dan Pileg), beredar kecaman-kecaman di media sosial lantaran ada klaim kemenangan dari salah satu paslon di Pilpres 2019 kali ini.

Saya sebagai seorang warga negara yang memilih untuk tidak memilih pada pilpres kali ini (baca. golput), mulai geram dengan tingkah para pendukung yang saling sindir-menyindir, bahkan parahnya saling menghujat lantaran persoalan klaim kemenangan tersebut.

Tulisan ini juga saya bagi sebagai penegasan perlawanan atas tindakan 'pengecaman" yang tidak berdalih di seputaran Pemilu ini. Dan penegasan status golput bukan karena apatis.

Balik pada persoalan klaim kemenangan, paslon 02 (Prabowo-Sandi), mengklaim menang berdasarkan hasil survei internal (yang terlepas bagaimana data asli dan prosesnya) mengundang repon dari berbagai kalangan yang entah dengan dalih apa, justru tindakan tersebut seakan-akan inkonstituonal atau melawan hukum lalu dikecam, mau dilawan, hingga diejek-ejeki.

Di media sosial, netizen saling berdebat, seakan ada yang salah dengan tindak paslon 02 tersebut.

Saya ingin sedikit membagikan pemahaman terhadap persoalan ini sedikit dari kacamata hukum. Sebab kita tahu bahwa negara ini adalah negara hukum, yang segala tindakan rakyat maupun pemerintah harus berdasar atas hukum.

Tidak ada salahnya dengan klaim kemenangan oleh paslon selama klaim tersebut tidak berdasarkan atas hasil dari penyelenggara pemilu (KPU), sebab hingga klaim tersebut dideklarasikan belum ada hasil dari KPU atas kemenangan dalam pemilu.  Yang salah itu jika ketika sudah diumumkan kemenangan atas hasil pemilu, dan ada gerakan-gerakan perlawanan  secara politik yang mengarah pada delegitimasi hasil KPU. Sebab, sitem hukum kita hanya menganjurkan perlawan dengan upaya hukum melalui prosedur peradilan sebagai mekanismenya, yang jika disengketakan pada proses penyelesaian sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Bukan hanya persolan klaim kemenangan atas dasar survei tertentu, merasa keberatan dengan hasil dari KPU pun sudah seharusnya kita melihat persoalan ini sewajarnya dengan melihat hak paslon untuk menajukan sengketa.

Saya mala geram ketika membaca spekulasi-spekulasi yang justru tumbuh sebagai respon atas persoalan tersebut yang jika balik pada zaman kolonial di sebut dengan politik devide et impera (politik pecah belah), seakan-akan ada gerakan-gerakan kelompok-kelompok fundamentalis yang ingin mengacaukan euforia pemilu kali ini, dengan balik pada isu-isu lama yang membenturkan beberapa kelompok -- hingga parahnya pembenturan idologi. Jika memang kalau ada gerakan-gerakan tersebut, sudah menjadi kewajiban bersama untuk secara aktif dilawan bersama.

Sebagai himbauan atas besar harapan untuk setiap pendukung untuk memaknai demokrasi dengan dewasa. Biarkan para paslon mengklaim kemenangannya selama sewajarnya dan pendukung penyelenggara pemilu untuk bekerja sesuai koridornya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun