Mohon tunggu...
Randy Firmansyah
Randy Firmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - ‎

‎

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Toxic Relationship: Sulit Keluar dari Hubungan yang Tidak Sehat?

6 Oktober 2024   08:26 Diperbarui: 6 Oktober 2024   09:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: freepik.com

Meskipun kita tahu hubungan yang toksik itu merusak, kenyataannya banyak orang masih bertahan di dalamnya. Mereka tetap terjebak, bahkan ketika sudah merasa tersakiti berulang kali. Jadi, kenapa begitu sulit meninggalkan hubungan yang jelas-jelas tidak sehat? Jawabannya ternyata lebih kompleks daripada sekadar "tidak bisa move on." Ada faktor psikologis dan emosional yang membuat seseorang terikat kuat dalam pola yang merusak. Salah satu alasan utamanya adalah fenomena trauma bonding dan ketergantungan emosional dan masih ada banyak faktor lagi, mari kita bahas.

Trauma Bonding: Terjebak dalam Siklus Manipulasi

Trauma bonding terjadi ketika seseorang terikat secara emosional dengan pasangan yang menyakitinya. Pola ini terbentuk karena adanya siklus manipulasi yang berulang: pelaku sering kali berganti-ganti antara memperlakukan korban dengan buruk, lalu bersikap sangat manis dan meminta maaf setelahnya. Misalnya, setelah melakukan kekerasan verbal atau fisik, pasangan mungkin tiba-tiba menjadi sangat lembut, memohon maaf, dan berjanji untuk berubah.

Siklus ini membuat korban mengalami kebingungan emosional. Mereka terjebak antara rasa takut akan kekerasan yang berulang dan harapan bahwa pasangannya akan berubah. Akibatnya, korban terus bertahan dengan keyakinan bahwa jika mereka berusaha lebih keras, hubungan ini bisa menjadi lebih baik. Padahal, pola ini hanya membuat mereka semakin terikat dan semakin sulit untuk keluar.

Ketergantungan Emosional: Ketika Rasa Sayang Berubah Menjadi Kecanduan

Ketergantungan emosional adalah salah satu alasan utama seseorang tetap tinggal dalam hubungan yang tidak sehat. Ketika kita terikat secara emosional pada seseorang, otak kita mengasosiasikan keberadaan orang tersebut dengan rasa aman atau kenyamanan, meskipun hubungan itu menyakitkan. Kondisi ini membuat seseorang merasa sangat sulit untuk membayangkan hidup tanpa pasangannya.

Sering kali, ketergantungan ini dipupuk oleh manipulasi emosional dari pelaku, seperti gaslighting---ketika pelaku membuat korban merasa bahwa semua masalah ada pada dirinya sendiri. Ini menimbulkan rasa tidak percaya diri dan keyakinan bahwa mereka tidak akan bisa bahagia tanpa pasangan tersebut. Akibatnya, korban lebih memilih bertahan dalam hubungan yang toksik daripada menghadapi ketidakpastian tanpa pasangannya.

Harapan yang Tidak Realistis: "Dia Akan Berubah"

Banyak orang yang terjebak dalam hubungan toksik percaya bahwa pasangannya bisa berubah. Harapan ini muncul karena pelaku sering menunjukkan sisi baiknya setelah berperilaku kasar. Mereka mungkin memberi perhatian berlebihan, janji-janji manis, atau bahkan hadiah sebagai bentuk permintaan maaf. Hal ini membuat korban merasa bahwa sisi buruk pasangan adalah kesalahan sementara yang bisa diperbaiki, dan hubungan ini masih layak untuk diperjuangkan.

Namun, kenyataannya, pola penganiayaan ini biasanya berulang. Harapan bahwa pasangan akan berubah membuat korban memberikan kesempatan demi kesempatan, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya. Ketika harapan ini terus dipertahankan, korban semakin terjebak dalam lingkaran manipulasi emosional yang membuat mereka sulit mengambil keputusan untuk pergi.

Rasa Takut akan Kesendirian

Rasa takut sering kali menjadi penghalang terbesar. Ketika seseorang sudah lama berada dalam hubungan yang toksik, mereka mungkin merasa kehilangan identitas diri. Ketergantungan emosional dan manipulasi membuat mereka merasa tidak berdaya dan tidak mampu menjalani hidup sendirian. Akibatnya, meskipun merasa tidak bahagia, mereka lebih takut dengan gagasan hidup tanpa pasangan.

Rasa takut ini tidak hanya soal kesendirian, tetapi juga kekhawatiran akan bagaimana lingkungan sekitar melihat mereka. Stigma sosial tentang "gagalnya" sebuah hubungan atau rasa malu karena diperlakukan buruk bisa membuat seseorang memilih untuk bertahan daripada menghadapi pertanyaan dan penilaian dari orang lain.

Harga Diri yang Terkikis

Dalam hubungan yang toksik, pelaku sering menggunakan penghinaan, perendahan, atau meremehkan korban untuk menciptakan perasaan tidak berharga. Ketika harga diri seseorang telah jatuh, mereka merasa bahwa mereka tidak layak mendapatkan yang lebih baik. Mereka mulai meyakini bahwa tidak ada orang lain yang mau menerima mereka, atau bahwa mereka pantas menerima perlakuan buruk ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun