Mohon tunggu...
Randy Firmansyah
Randy Firmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - ‎

‎

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Mengapa Sebagian Orang Sulit Berkomitmen?

5 Oktober 2024   15:15 Diperbarui: 5 Oktober 2024   15:20 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://depositphotos.coml

Psikologi Komitmen: Mengapa Sebagian Orang Sulit Berkomitmen dalam Hubungan Percintaan

Komitmen sering kali dianggap sebagai tanda kedewasaan dalam hubungan. Namun, kenyataannya, tidak semua orang siap untuk melangkah ke fase tersebut, bahkan ketika ada perasaan cinta yang kuat. Meskipun keinginan untuk memiliki hubungan yang stabil ada, beberapa orang justru merasa terjebak dalam ambivalensi, antara ingin tetap bersama tetapi juga takut terikat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Alasannya jauh lebih rumit daripada sekadar "tidak siap." Ada berbagai faktor psikologis yang mempengaruhi seseorang untuk menahan diri dari komitmen jangka panjang. Mari kita bahas satu per satu.

Trauma Masa Lalu: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Trauma dari hubungan masa lalu adalah salah satu alasan utama mengapa seseorang sulit berkomitmen. Pengalaman negatif seperti patah hati yang mendalam, perselingkuhan, atau pengkhianatan meninggalkan bekas yang sulit hilang. Orang yang pernah terluka cenderung membangun pertahanan untuk melindungi diri dari rasa sakit yang sama. Mereka menolak membuka hati sepenuhnya dan lebih memilih untuk menjaga jarak emosional, sehingga terhindar dari risiko mengalami luka yang serupa.

Selain itu, trauma masa kecil juga bisa mempengaruhi pandangan seseorang terhadap komitmen. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh konflik, seperti sering melihat orang tua bertengkar atau mengalami perceraian, cenderung memiliki pandangan negatif tentang hubungan. Mereka mengaitkan komitmen dengan rasa sakit, ketidakbahagiaan, atau ketidakstabilan. Akibatnya, mereka menghindari berkomitmen karena tidak ingin mengulang pola yang sama di masa depan.

Menurut teori Attachment, orang yang memiliki pola avoidant attachment biasanya sulit terikat dalam hubungan yang serius. Mereka cenderung menutup diri dan merasa lebih nyaman menjaga jarak. Pola ini terbentuk dari hubungan yang tidak stabil di masa kecil, di mana kebutuhan emosional mereka mungkin tidak terpenuhi dengan baik.

Ketakutan Kehilangan Kebebasan: Terikat atau Terpenjara?

Salah satu alasan paling umum yang sering muncul adalah ketakutan kehilangan kebebasan. Komitmen sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap identitas pribadi, waktu, atau kebebasan seseorang. Mereka takut bahwa hubungan yang serius akan menuntut mereka untuk mengorbankan hobi, teman-teman, atau rutinitas yang mereka nikmati. Bayangan tentang "terikat" ini memunculkan perasaan cemas, sehingga mereka lebih memilih untuk tetap dalam hubungan tanpa status yang jelas, atau menghindari langkah ke jenjang yang lebih serius.

Ketakutan ini sebenarnya lebih berkaitan dengan persepsi mereka tentang apa arti komitmen itu sendiri. Bagi orang-orang dengan pemikiran ini, komitmen sering kali disalahartikan sebagai hilangnya kendali atas hidup mereka, padahal komitmen yang sehat seharusnya memungkinkan kedua pihak untuk berkembang bersama tanpa kehilangan jati diri masing-masing.

Penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa individu yang merasa identitas dirinya terancam ketika berada dalam hubungan cenderung mengembangkan ketakutan akan komitmen. Mereka melihat komitmen sebagai hilangnya bagian dari diri mereka, bukan sebagai tambahan yang positif.

Kebingungan dengan Banyaknya Pilihan: "Bagaimana Jika Ada yang Lebih Baik?"

Di era media sosial dan aplikasi kencan, pilihan pasangan terasa lebih banyak dari sebelumnya. Fenomena ini dikenal sebagai paradox of choice---semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin sulit untuk membuat keputusan. Ini menciptakan rasa takut akan "salah memilih" atau berkomitmen pada orang yang "kurang tepat," karena mereka merasa bahwa mungkin saja ada seseorang di luar sana yang lebih baik. Akibatnya, mereka terus mencari dan menunda komitmen, terjebak dalam siklus "apa ada yang lebih baik?"

Fenomena ini juga membuat seseorang lebih cenderung membandingkan pasangannya dengan standar ideal yang dibentuk oleh media atau ekspektasi yang tidak realistis. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, mereka mudah merasa tidak puas, meskipun sebenarnya mereka telah bersama pasangan yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun