Berbicara itu mudah. menulis itu butuh pertimbangan. Itulah sekiranya dalam pandangan sempit saya berpendapat. Berbicara mudah karena kita semua pun melakukannya. di mana pun, berbicara termasuk bagian dalam komunikasi sehari-hari. Namun, menulis atau lebih tepatnya proses untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Perlu proses berpikir dan merangkai kata-kata. Ya, seperti saya tuliskan ini butuh proses.
Saat membuat suatu tulisan, saya terpikir, untuk apa ditulis. Toh, segala sesuatu akan berlalu begitu saja seumpama waktu yang terus berjalan tanpa pernah bisa dihentikan. Seiring bertambah usia, saya pun menyadari pentingnya menulis. Apa yang kita tuliskan menjadi bukti dan rekam sejarah saat itu atau periode tersebut. Semisal catatan harian atau diary. Segala kisah lucu dan menarik tertulis dengan bahasa tutur atau tulisan yang mudah diingat. Catatan harian menyimpan segalanya. Tulisan dengan berbagai bentuk, tanda-tanda tren zaman itu, dan lainnya. Terpenting, tulisan tersebut menyimpan kenangan, setidaknya bagi si penulis.
Hari ini, Senin 4 Mei 2012, sekitar pukul 15.00 WIB, saya bersama teman-teman redaksi(Majalah kampus) berkumpul di kelas lantai 6(UMN) mengikuti sharing dari mantan wartawan The Jakarta Post, Andreas Harsono. Dalam sharing selama dua jam , peraih Nieman Fellow on Journalism di Universitas Harvard(Cambridge) ini menceritakan kisah di balik karya wartawan the New Yorker, John Hersey, "Hiroshima". Dalam penjelasannya, ia menguraikan bagaimana suatu karya sepanjang 30.000 kata tersebut tercipta. "Hiroshima", karya terkenal John Hersey terlahir dari proses panjang yang memakan waktu hingga setahun lamanya. Namun, hasil yang didapat setimpal bahkan lebih. setelah tulisan sepanjang 68 halaman yang dimuat di The New Yorker di publish ke publik, hanya dalam waktu singkat ludes terjual. alur cerita yang menarik disertai narasi seperti dalam novel membuat setiap pembaca pun ikut merasakan bagaimana kondisi saat itu.
Yang ingin saya katakan di sini, bagaimana suatu tulisan dapat berefek besar kepada publik. Hiroshima menjadi karya jurnalistik terbaik sepanjang masa dan turut menyadarkan publik betapa bom pemusnah massal(nuklir) amatlah berbahaya jika disalahgunakan.
Dari contoh tadi, saya ingin mengatakan,"Menulislah dengan tujuan turut menyadarkan masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan implementasikanlah segala daya pengetahuan demi kepentingan bersama."
Untuk itu, menulis membutuhkan proses berpikir. Saya menulis untuk siapa, dan apa tujuannya. Percaya atau tidak, tulisan yang pernah kita buat tidak akan bisa diulang kembali sama persis. Kenapa? Seperti tulisan yang sekarang saya buat, jika disuruh mengulang pasti berbeda. situasi, mood, kenyamanan dan berbagai faktor lainnya ikut menentukan bagaimana tulisan tersebut dibuat. Ia menjadi suatu karya.
Seperti di awal, berbicara itu mudah, menulis itu butuh pertimbangan.(pendapat sendiri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H