Hari Kesehatan Mental Sedunia 2024 bulan lalu sudah kita peringati pada tanggal 10 Oktober. Akan tetapi apakah kita selama ini sudah berhasil menjaga dan mengendalikan tingkat kesehatan mental diri sendiri (pada khususnya) dan masyarakat (dunia maya) Indonesia pada umumnya?
Kesehatan mental tidak melulu berbicara bagaimana menjaga agar kita tetap waras, atau setidaknya tidak mudah stres saja. Akan tetapi juga pada pencegahan diri atau pengendalian pribadi bagaimana kita bisa tetap bertahan pada apapun gempuran kejiwaan yang dihadapi, mampu mengatasi segala masalah hidup yang bisa menekan mental kita dan mengubahnya menjadi tempaan agar bertambah kuat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesehatan mental (umat manusia) seringkali kurang atau tidak begitu dipedulikan jika dibandingkan dengan kesehatan raga atau fisik. Semua orang berusaha mati-matian untuk tetap sehat, panjang umur, tidak mudah sakit-sakitan (lucunya, berusaha mati-matian, bukan hidup-hidupan). Antara lain menjaga diri agar dipuji tetap cantik-tampan-awet muda, rajin minum suplemen multivitamin hingga suntik sel punca, merawat rambut-wajah-manikur-pedikur, menjaga berat badan ideal (baca: langsing/kurus) dengan aneka diet dan penjagaan pola makan-minum, rajin pergi ke gym, bahkan rela merogoh kocek dalam-dalam untuk melakukan oplas di Korea dan sebagainya. Tapi banyak kita cenderung enggan mengunjungi psikolog atau ahli kesehatan mental begitu menghadapi masalah seperti stres/tekanan dalam bekerja, perundungan-perisakan, tekanan pertanyaan, 'kapan nikah' dan sebagainya.
Masalahnya bukan karena tidak punya dana, melainkan sangat sederhana bahkan bagi yang berpunya: takut disangka sudah kurang waras alias gila!
Satu lagi hal lucu/ironis yang sebenarnya cenderung membuat mental kita terganggu alias diam-diam membuat kita menekan diri sendiri: kebiasaan kita untuk terlalu ingin ikut campur masalah orang lain. Kebiasaan ingin mengetahui segala sesuatunya meskipun belum tentu ditujukan untuk kita.
Misalnya bagaimana? Status orang lain/pengikut di media sosial. Tulisan atau artikel besutan penulis lain (misalnya, karena penulis juga mengalami hal seperti ini). Setelah dibaca, hati jadi auto panas. "Apakah dia membicarakan saya?" atau, "Apakah dia sebenarnya tidak suka pada saya, ingin menjatuhkan saya?" Suka tidak suka, kebanyakan netizen Indonesia pasti ingin tahu lebih dahulu, lebih cepat dan lebih banyak mendulang info daripada orang lain. Mungkin karena FOMO (Fear of Missing Out), takut dianggap kudet. Mungkin karena rasa insecure. Atau mungkin juga hanya karena kepo.
Begitu merasa 'diomongin' hanya karena ada satu-dua patah kata yang disangka ada sangkut-pautnya dengan diri, dengan mudahnya lalu mereka merasa jadi korban, tersindir, merasa dijulid, difitnah atau digibah. Padahal, belum tentu ditujukan bagi diri. Umpamanya, ada sebuah artikel/status tentang pasangan yang berselingkuh. Eh, diri sendiri dan pasangan merasa selama ini sudah saling setia. Aneh bukan jika tiba-tiba merasa dituding (oleh si penulis), padahal tidak ada hubungannya dengan si pembaca manapun termasuk pembaca yang terlalu bawa perasaan ini.
Sebenarnya tidak perlu terburu-buru panas hati. Cari tahu dahulu faktanya, apakah benar tulisan/status/kabar itu membicarakan Anda? Adakah nama Anda tertera di sana?
Belajar mengendalikan diri agar tidak mudah merasa terjulidi, baper, play victim atau berdrama adalah bagian dari penjagaan kesehatan mental sederhana yang bisa kita coba lakukan sendiri. Tidak perlu jauh-jauh mencari penyebab masalah dan berusaha membetulkan segalanya, diri sendiri dahulu dapat memulai dengan berbagai cara: menghindari tulisan-tulisan yang sekiranya bisa melemahkan diri sendiri, menyaring terlebih dahulu sebuah tulisan dengan hati dan pikiran masing-masing. Serta tentunya mengambil hikmah terbaik dari apa yang kita baca di media sosial. Saring sebelum sharing.
Dengan berusaha tidak mudah bawa perasaan, kita sudah satu langkah ke depan dalam menjaga kesehatan mental. Bukan orang lain yang harus 'diperiksa' atau dipersalahkan, melainkan kita yang ambil tindakan. Jika perlu, adakanlah hiatus dari media sosial yang mengganggu. Tidak apa-apa 'kok, sehari-dua hari bahkan satu bulan tidak eksis. Tidak semua hal perlu ditanggapi, apalagi dengan terburu-buru dan panas hati.