'Ocean dan Sky!
...Earth!'
Emily tersentak bangun. Gadis itu terduduk di ranjang, terengah-engah mencari oksigen. Matanya terbelalak dengan keringat dingin menganak sungai di sekujur tubuhnya. Gaun tidurnya terasa lengket dan gerah. Air mata mengalir tanpa sadar dan ia terisak-isak tanpa henti.
Ia spontan teringat kembali pada rambut-rambut cokelat panjang kedua pria muda berusia hampir 23 tahun yang pernah ia sentuh dan belai, Ocean dan Earth. Keduanya sama-sama menaruh hati kepadanya dengan cara mereka masing-masing. Ocean yang elegan, lembut, bersinar bak berlian, ramah namun tetap maskulin. Ibarat kuda putih, biji catur putih yang selalu menang. Namun Earth begitu kasar, tak terpelajar, kusam bagai permata yang belum diasah. Kekerasan yang dialaminya untuk seumur hidupnya hingga hampir berusia 23 tahun membentuknya menjadi pribadi pendendam.
Pemuda yang seumur hidupnya dikutuki ayahnya sendiiri sebagai pembunuh ibu kandung saat melahirkannya.
Earth entah berada dimana saat ini. Ocean dan Sky masih berada di Pulau Vagano, tentunya! Mungkin bahkan sudah menikah!
Emily berusaha bangkit dari tempat tidur, mengusap air matanya dengan tisu. 'Ocean, Earth. Tak mungkin mereka masih menginginkan cintaku, walau mereka pernah mencicipi tubuhku. Setidaknya, hampir memilikiku walau belum terjadi hubungan suami istri. Namun aku sudah mereka lihat, dan aku sudah melihat mereka seutuhnya. Kedua-duanya menakutkan sekaligus mempesonaku.'
Emily bergidik. Ia selalu merasakan keinginan untuk memiliki dan dimiliki oleh kedua pemuda kembar yang memang tampan dan bertubuh tinggi itu. Para pria berdarah biru seperti di film-film, namun jauh lebih menawan dari apapun dan siapapun.
Bila Emily sudah tak tahan lagi, ia akan segera melepas semua busana yang ia kenakan dan mulai menelusuri tubuhnya sendiri, yang bertambah mekar dan indah saja, tetap langsing dan seksi di usia 23 tahunan.
Berbaring tanpa sehelai benangpun di atas ranjangnya, ia tak peduli. Asal pintu sudah terkunci.
Ia berfantasi seandainya kedua pemuda Vagano itu menatapnya saat ini, begitu menginginkan dirinya, menelan ludah mereka, menatapnya dengan dua pasang mata biru mereka yang tajam dan jernih.
Emily teringat pada setiap pelukan, sentuhan dan kecupan kedua pria muda itu. Bagaikan madu dan racun yang manis dan memabukkan, dan mungkin juga bisa mematikan.