"Apa maumu, Vagano?" Hannah yang sedang terbaring di atas ranjang tua di dalam paviliun itu tahu siapa penerobos masuk misterius malam itu. Namun karena suasana gelap, ia tak tahu yang mana. Dan pemuda itu memakai jas bertudung.
"Kau pasti Earth..." dengan geli ia tertawa-tawa, suaranya kering, mengerikan seperti wajah tuanya yang setengah terbakar dan hancur lebur. "Tak perlu menyelamatkanku sekarang dan membunuh penjaga-penjaga di luar. Cih, aku tak butuh kau selamatkan."
"Aku tak membunuh mereka, hanya 'melumpuhkan' mereka sedikit. Dan aku bukan Earth. Aku hanya ingin mempertemukanmu dengan seseorang yang sangat kau rindukan selama ini... Aku sudah pernah bertemu dengannya dan kau akan segera tahu."
Kembar Vagano misteris itu maju, di tangannya selembar saputangan yang sudah diberi cairan kloroform segera ditutupkannya ke wajah Hannah. Membekap erat wanita tua itu hingga kehilangan kesadaran.
"Dan sementara kakakku sedang bermain piano bersama gadis yang ia sukai, kuseret saja dirimu ke sana, aku masih ingat jalannya. Ada blokiran, tapi tak masalah. Aku bisa membongkarnya."
Entah berapa lama kemudian, Hannah terjaga sendirian di Lorong Bawah Tanah.
Berusaha mengingat-ingat siapa yang membiusnya lalu menyeret tubuhnya kemari.. bukan Ocean, bukan Earth..
Sky?
Pemuda itu ternyata tak sealim yang Hannah duga. Mengapa ia bisa begitu marah, padahal ia tak terlibat apa-apa bahkan tak mencintai Emily?
Tapi Sky memang diam-diam memendam banyak hal. Sebagai anak tengah yang jarang macam-macam dan selalu dianggap alim dan riang gembira, siapa sangka ia akan membuat keputusan seekstrim ini!