(Point-of-view Emily:)
'Aku bahkan hampir tak ingin mengingat-ingat momen dimana Ocean malam ini begitu marah kepadaku. Aku betul-betul merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Karena sebegitu dalamnya cintanya kepadaku, atau karena ia marah sekali atas apa yang sebelumnya kuperbuat?
Kuakui, simpati kepada Earth adalah sesuatu yang awalnya adalah spontanitas belaka. Karena ia sosok pria muda labil terluka yang begitu peka, sepolos bocah kecil dan juga masih begitu lugu. Namun di sisi lain, betul kata Ocean, ia bisa jadi sangat berbahaya dan haus darah. Tak terduga.
Ia lebih dari sekedar badboy yang kutonton di film-film atau jagoan terluka yang menebar teror di fiksi-fiksi yang kubaca. Sosok tampan yang mengoyak-ngoyak kealiman dan kepolosanku, membukakan mataku yang belum pernah melihat sosok seorang pria dewasa yang seutuh-utuhnya.
Dan belum lagi tadi saat Ocean hampir saja melakukan hal yang hampir sama dengan yang Earth lakukan sebelumnya denganku.
Atau mungkin, kami lakukan bersama. Sebab aku tak melawan.
Dalam gelora kemarahannya, dihempaskannya aku ke atas piano yang tertutup. Tak diberinya aku kesempatan untuk melarikan diri. Kedua lengan rampingnya yang kuat seakan memerangkapku untuk selamanya.
Sosoknya tak sekasar Earth. Ia seorang pemuda tinggi ramping berkulit halus mulus bagai porselen, beraroma lembut menawan namun tetap maskulin. Lekuk tubuh Ocean yang atletis jelas terpampang saat ia perlahan melepas kemejanya. Rambutnya yang cokelat panjang tergerai menutupi sebagian leher, dada dan punggungnya. Jakunnya menonjol, kelihatan jelas beberapa kali ia menelan ludah.
Seksi, kuakui. Kedua kakak beradik itu sama-sama pencuri hati, penyiksa jiwa raga yang pesonanya tak bisa dihindari.
Ia begitu percaya diri dan mendekatiku, seolah yakin aku takkan berteriak, minta tolong atau menghindar dengan penuh ketakutan.