Kisah suka-duka sehari-hari seorang penumpang pengguna setia Transjakarta.
Senin-Jumat, seperti biasa pagi-pagi penulis berangkat kerja sekitar pukul enam pagi WIB seusai menyiapkan kebutuhan sang buah hati untuk berangkat ke sekolah. Setelah berjalan kaki selama kurang lebih sepuluh menit, penulis tiba di sebuah halte langganan yang berada di bilangan sebuah jalan raya utama di Jakarta Barat.Â
Bus Transjakarta atau juga akrab disapa TiJe alias Bus Way (Buswae, istilah pribadi penulis) adalah kendaraan umum massal yang cukup membantu sebagai moda transportasi di Jakarta (yang akan segera menjadi mantan ibu kota Indonesia). Selain karena hanya ini satu-satunya moda yang bisa mengantarkan penulis menuju tujuan (belum sampai akhir), bus ini termasuk aman dan cukup nyaman sebagai angkutan umum untuk seorang wanita pekerja yang berangkat seorang diri ke kantor.
Mari kita sedikit bernostalgia dulu sebelum masuk ke kisah Tije. Buswae Tije tidak seperti pendahulunya, bus mini ala Metro Mini atau Kopaja, yang pada masanya terkenal dengan ugal-ugalan, kejar-kejaran cari penumpang (alias rebutan cari uang setoran) dan juga gonta-ganti sopir tembakan di pinggir jalan. Belum lagi adegan drama setop di pinggir jalan lalu bertengkar karena senggolan yang sering terjadi antar dua sopir tembakan kedua angkutan lawas ini. Plus pengamen dan yang sering setengah memaksa penumpang untuk memberikan sekadarnya. "Daripada kami panjang tangan, mengambil yang bukan hak milik, tidak ada salahnya Bapak-Ibu berkenan berbagi rezeki seikhlasnya." Demikian intro yang dilontarkan sebelum mereka mulai genjreng-genjreng yang kadang gak jelas. Judulnya memang ikhlas, tapi etapi jika diberi 100-200 Rupiah logam pasti menolak.  "Pelit amat! Memang duit segitu mau dapat apa? Bisa beli apa? Permen aja gak dapat!" Kira-kira begitu yang mereka ungkapkan dalam gerutuan tertahan yang sering penulis dengar.
Belum lagi masalah panas karena di Metro Mini maupun Kopaja memang tidak ada air conditioner, adanya hanya angin cepat. Artinya, siap-siap keringatan jika cuaca Jakarta sedang panas. Memang ada angin dari luar (jendela bus jarang tertutup), tapi rasanya udara Jakarta tidak pernah sejuk sepoi-sepoi apalagi bebas polusi.
Sering penulis alami juga saat masih naik bus-bus mini oren biru atau hijau putih ala Tayo ini, ban tiba-tiba meletus (karena udah botak dimakan usia), jadinya ya terpaksa ganti bus atau dioper ke bus lainnya (yang kadang lama baru datang). Jadilah kami para penumpang dijemur dulu seperti ikan asin di pinggir jalan. Bagi yang tidak betah ya silakan naik atau cari bus mini merek lain. Kadang memang lewat kendaraan umum alternatifnya yaitu si biru Kopami (yang sebenarnya termasuk mendingan dibanding si oren dan si hijau, tapi armadanya hanya ada sedikit).
Keberadaan Buswae sebenarnya cukup membantu para penumpang bus mini yang sudah lelah dengan banyaknya kelemahan bus mini. Meskipun kadang rindu bernostalgia dengan Kopaja atau Metro Mini, tetap aja jika disuruh memilih, masih menang banyak si Tije.
Memang gak ada bau keringat, jerit-jeritan kondektur, genjreng ukulele dan pengemis menadahkan kantong permen. Akan tetapi...
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H