Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Episode 38: Cursed Kutukan Kembar Tampan (Novel Romansa Misteri)

5 Juli 2023   13:18 Diperbarui: 5 Juli 2023   13:19 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Point-of-view Earth Vagano:)

'Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan tubuh Si Tua yang kini tergeletak di hadapanku, tentunya belum mati, karena aku tak setega itu. Aku memang Makhluk Terkutuk yang hina, tapi rasa kemanusiaanku masih ada, seberapapun kecilnya.

"Siapa kau?" ulang wanita tua yang tadi nyaris menjadi korban.


"Aku, aku.." tudung pada jubahku belum berani kuungkap. Siapa wanita ini, aku bahkan tak tahu karena Si Tua belum pernah menyebutkan nama atau memperlihatkan fotonya.


"Mari kulihat!" dengan berani, wanita yang telah kuselamatkan itu membungkuk dan menyingkapkan tudungku.
Dan betapa terkejutnya ia saat melihatku.


"Oh Tuhan, oh Tuhan... Kau masih hidup! Kau benar-benar masih hidup! Ini sebuah keajaiban!" wanita itu berubah gembira dan betul-betul sudah tak takut lagi kepadaku.


"Kau adalah kembar ketiga Vagano yang hilang selama hampir dua puluh tiga tahun! Kau adalah Earth Vagano!" ia memelukku seketika dengan sangat gembira hingga air matanya tumpah. Tak diperdulikannya bau tubuhku atau kotornya semua yang kukenakan.
"Kau sama tampannya dengan saudara-saudaramu! Astaga! Tapi mengapa kau begini kurus dan gondrong acak-acakan? Ayo masuk!"
"Namaku... Earth?" ucapku ragu-ragu, karena jarangnya aku bicara, kurasa perbendaharaan kataku sangat sedikit.


"Ya, ya, kau lahir di tanganku! Aku Lilian, dokter wanita yang menolong ibumu melahirkanmu!"


Ia mencium kening dan pipiku dengan penuh kasih sayang. Ia begitu berbeda dari Si Tua.

Akhirnya kepercayaanku kepada Lilian mulai tumbuh. Tak lama, kami berdua menyeret masuk Si Tua yang masih pingsan dan berlumuran darah ke dalam bangunan tempat tinggal Lilian.


"Wanita ini merawatku selama ini." ucapku sesederhana mungkin. "Tapi ia jahat. Ia tak pernah berbuat baik kepadaku." ungkapku kepada Lilian yang masih terus membelai rambutku yang kusut masai.


"Kita ikat dulu dia. Kita tak boleh membiarkan dia bebas. Ayo bantu aku sebentar."


Lilian mengambil tali tambang kapal yang sangat kuat. Aku membantunya mengikat kedua tangan dan kaki Si Tua lalu Lilian meminta bantuanku, "Earth, kau bawa dia ke ruang di puncak mercu suar dan ikatkan dia baik-baik di sana agar sementara ini ia tak dapat mengusik kita. Namanya Hannah dan dia dulu bersahabat denganku."


Aku menuruti Lilian dan melaksanakan permintaannya. Sementara menggotong Hannah Si Tua ke puncak menara melalui tangga spiral terjal yang berputar seakan tak ada habisnya, perlahan sinar matahari mulai muncul pada jendela-jendela kecil di bagian atas bangunan berbentuk tabung itu.

Aku hampir tak pernah melihat sinar matahari. Baru kali inilah aku tahu betapa hangatnya cahaya-cahaya dunia atas.
Segera kuikatkan Si Tua pada tiang yang ada di satu-satunya ruangan teratas, lalu aku turun kembali dengan hati-hati.
Belum setengah jalan, kudengar dari atas, maki-makian Hannah yang telah sadarkan diri..

"LILIAN! AWAS KAMU! INI SEMUA BELUM BERAKHIR! AKU AKAN MEMBUNUHMU BEGITU AKU BEBAS DARI SINI!"

Suaranya bergetar penuh dengan kebingungan dan ketakutan yang amat sangat. Namun aku tak perduli. Ia memang bukan temanku, apalagi ibuku!

Lilian menyambutku dengan begitu mesra sekaligus sedih. Ia memanaskan air untukku dan membuka seluruh pakaianku. Aku kini tak berbusana di hadapannya, namun entah mengapa, aku tak merasa malu.

Dipintanya aku untuk masuk ke dalam bath tub yang sudah ia sediakan di kamar mandinya yang menyatu dengan semua ruangan di lantai dasar mercu suar itu. Seperti seorang bocah, aku dimandikannya dengan telaten dan sabar. Lalu dikeringkannya tubuhku dengan handuk dan dikenakannya satu set busana laki-laki yang masih sangat pantas.

"Ini dulu milik almarhum suamiku, kepala pegawai perkebunan Vagano. Kami tak pernah punya anak. Tapi kini kau akan kuanggap sebagai putraku sendiri, Earth."

Lilian juga memangkas rambutku hingga setengah punggung saja. Kini aku merasa jauh lebih bersih dan rapi.

"Sekarang kau jadi begitu mirip dengan kakak sulungmu, Ocean Vagano. Bila tiba waktunya, kau akan kuperkenalkan kepada mereka, kakak-kakak kembarmu.."

Aku tak tahu apakah harus merasa bahagia atau sedih. Dendamku kepada kedua saudara kembarku masih ada, takkan bisa pupus begitu saja!'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun