"Kau Ocean. Aku tahu kau akan datang menyelamatkanku."
Kurasa ia mengenaliku sebagai Ocean, ya, tak salah juga 'sih, karena aku memang begitu mirip dengan foto-foto orang-orang yang kubenci itu. Yang sering ditunjukkan SI Tua hingga tertanam dalam ingatanku. Dan Emily tak seratus persen salah bila mengiraku dan memanggilku sebagai Ocean.
Aku, terus terang saja, sangat marah dan ingin sekali menampar gadis itu karena berhasil membangkitkan api kecemburuanku. Tapi ia betul-betul mengucapkan itu di luar kesadaran yang sesungguhnya.
"Aku bukan..."
"Sudah, jangan ucapkan lagi. Terima kasih, Ocean. Aku senang kau menjemputku." Â ucap Emily yang masih belum seratus persen sadar, seperti meracau. Ia malah menarik wajahku dan menciumku dalam-dalam.
Perasaan yang bukan hanya nafsu itu pun bangkit kembali, menyambar-nyambar sama seperti petir di langit yang masih memamerkan kuasa dan gelegarnya.
Dan aku tak tahu mengapa, aku membalas ciumannya, singkat saja. Tapi aku tak berani lagi meraba atau menyentuh tubuhnya karena takut sekali bila kelelakianku bangkit lagi.
Aku tak ingin terjadi sesuatu yang 'buruk' pada Emily, setidaknya, tidak hari ini.
"Pakai jubah ini. Kuantar kau pulang begitu  hujan reda." ucapku singkat.
"Ocean, kau tak lagi menyukaiku?" Emily masih setengah meracau saat hujan reda dan aku menggendongnya keluar dari gua dan hutan yang basah dan gelap menuju ke puri.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H