Banyak pasangan menikah dengan anggapan atau harapan jika pernikahan akan mengubah hidup mereka atau pasangan mereka ke arah yang lebih baik. Segala kekurangan dan kelemahan pasangan sebelum nikah diabaikan dengan alasan, "Ah, nanti saja. Aku akan coba mengubah hidupnya." atau "Nanti juga dia bisa memperbaiki diri, aku akan membantunya." "Itu bisa dibahas dan diusahakan lain kali saja, yang penting nikah dulu!" dan lain sebagainya.
Padahal baik kelebihan-kekurangan atau kekuatan-kelemahan pasangan kita itu sebenarnya satu paket yang sudah ada pada dirinya bahkan sebelum bertemu dengan kita. Ibaratnya, kita harus tahu dan mengenal semuanya dahulu sebelum kelak menikah.
Sederhananya, ibaratkanlah kita harus memilih antara dua rasa, gula atau garam. Tidak bisa dua-duanya, ya. Ibarat masakan, pasti satu rasa akan lebih dominan. Tidak ada yang bisa dicampurkan ke dalam satu macam masakan atau minuman tanpa ada salah satu mendominasi. Tidak mungkin ada kopi 100 persen asin, tidak mungkin juga ada makanan savory yang bisa seratus persen manis.
1. Pasangan kita mungkin asin seperti garam atau manis seperti gula. Dari sananya, ia sudah memiliki rasa yang khas dan tak dapat diubah. Namun tentu saja mereka masih memiliki kekurangan. Garam akan tetap asin, takkan pernah bisa berubah menjadi manis. Gula akan tetap manis, takkan pernah bisa diubah menjadi asin.
2. Sedari awal jika kita sadari hal ini, kita tahu dan sadar mana yang cocok di lidah kita, kita akan menyadari jika garam atau gulakah yang cocok dengan kita. Setelah mantap memilih lalu menikah, lantas apa yang patut kita sadari?
Kita takkan mungkin bisa mengubah garam menjadi gula atau sebaliknya, mengubah gula menjadi garam. Pernikahan bukan ibarat sebuah sekolah untuk mengajar pasangan ke arah yang lebih baik atau bengkel untuk memperbaiki dirinya menjadi sempurna seperti yang kita harapkan atau inginkan!
3. Garam walaupun digulai bagaimanapun akan tetap asin. Ia takkan pernah bisa berubah sifat. Sama dengan gula yang digarami, bagaimanapun ia akan tetap menjadi gula. Jika dipaksakan, rasa pernikahan malah menjadi tak keruan. Itulah sebabnya banyak sekali pasangan yang menikah lalu berakhir dengan perpisahan dan perceraian.
Motivasi atau tujuan pernikahan (visi-misi) yang salah, entah karena materi atau pemenuhan hasrat belaka, seringkali menyebabkan para penyuka asin nekat memilih gula dan penggemar manis ngotot memilih garam. Kesalahan itu menyebabkan banyak pergesekan dan masalah dalam rumah tangga. Tak heran jika drama ala Sinetron Cap Ikan Terbang banyak menghiasi keluarga-keluarga semacam ini. Alih-alih harmonis dan sejahtera, akhir-akhirnya anak-anak yang jadi korban.
Jika saja semua pasangan bisa mengerti prinsip Gula Garam ini, tentunya takkan banyak riak-riak kecil dalam rumah tangga yang kelak berubah menjadi pusaran badai yang menakutkan. Jadi, apa yang harus kita lakukan?
1. Jadilah pelengkap bagi pasangan kita, jangan menjadi guru, satpam apalagi penentu atas apa yang ia lakukan.