"Hah? Mengapa harus pergi berkuda bersama seorang Nona Maharani Cempaka, Tuan Muda Leon Delucas?" Rose hampir saja tertawa mendengar nama yang disebutkan putranya, "Dengar, ia mungkin ibu gurumu yang paling baik hati dan cantik, tetapi sungguh, ia jauh lebih cocok kau jadikan 'kakak'-mu saja daripada 'seseorang yang istimewa' itu. Mama tak ingin jika dalam masa-masa sulit seperti ini kau mulai berulah lagi dengan coba-coba mendekati wanita. Apalagi yang tujuh tahun lebih dewasa darimu!"
"Mama, aku..." wajah Leon memerah karena ibunya berhasil membaca tujuannya, namun ia segera mendapatkan jawaban bijak, "Nona Rani hanya sekadar menemaniku saja. Ia juga setuju. Apakah salah jika seorang guru bahasa bisa sedikit, sesekali saja, mendengarkan curahan hati muridnya sendiri? Dan well, mengapa hanya berdua? Karena aku tak begitu suka beramai-ramai. Mama tahu, aku anak baik, takkan berbuat macam-macam. Aku janji!"
"Hmmm... Baiklah. Namun kau harus tahu posisi dan kedudukanmu di sini, Young Man. Jika sampai terjadi keadaan darurat atau tetiba sesuatu menimpaku di kemudian hari, kau yang akan menggantikan posisiku. Jadi, jangan berbuat bodoh."
"Mama, what do you mean?" Leon merasa kalimat ibunya tak seperti biasanya.
Lady Rose hanya berdeham, "Well, siapa yang akan tahu, karena pandemi ini bukan wabah yang biasa-biasa saja, bahkan bisa lebih parah daripada Hexa-19! Kita tak tahu kejutan apa yang akan terjadi besok lusa, walaupun untuk sementara kurasa kita cukup aman berada di balik tembok tinggi dan pagar hidup kompleks Delucas!"
Leon mulai mencium ada suatu hal yang ibunya coba tutup-tutupi. Namun misteri Orion saja sudah cukup membuatnya galau, jadi kali ini ia tak ingin lagi membahas masalah lain. Saat ini ia sudah cukup gembira telah mengantungi izin untuk jalan-jalan bersama Maharani besok.
***
Sementara itu Kenneth dan kedua stafnya masih berusaha keras memperjuangkan nyawa Russell yang kembali kritis setelah nyaris 24 jam mengalami musibah. Mereka tentu tak tega membiarkan pasien itu meninggal dunia sebagai korban jiwa ketiga. Tetap saja, jauh dalam batin si dokter, ia begitu ingin tahu apa yang terjadi seandainya Russell mengalami reanimasi.
Dua zombie yang sudah 'kembali mati' memang menyumbangkan data yang lumayan demi penelitianku. Namun itu saja belum cukup. Betapa aku tak ingin jatuh lebih banyak korban. Tetapi dunia Ever butuh seorang pahlawan!
Sebentuk pemikiran yang sulit ia sangkal diam-diam terbetik, Jiwa Russell juga takkan bisa diselamatkan, virus itu sudah terlanjur menyebar ke seluruh tubuhnya. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu Grim Reaper, Sang Pencabut Nyawa, melakukan tugas.