"What? Me-me-menikahiku?" Rani hampir saja menumpahkan kopi hangat dalam cangkir yang sedang ia genggam. "Aku sedang bermimpi indah atau malah buruk, 'sih? Kau pasti hanya bercanda! Tidak lucu, tahu! Atau... serius?" Membayangkan bisa bersama pemuda setampan dan semenarik Orion saja membuat Rani grogi setengah mati, apalagi diajak menikah secepat ini! Belum lagi jika mereka bermalam pertama, sungguh tak terbayangkan olehnya.
"Iya, seratus persen serius!" Orion tersenyum, deretan giginya yang rapi putih bagaikan mutiara selalu menghipnotis mata Rani. Ia lanjut berbisik sepelan mungkin bak seorang mata-mata sedang membocorkan rahasia besar, "Aku baru saja berhasil menemukan beberapa petunjuk sekaligus sebuah fakta penting jika aku dan Rose sesungguhnya belum 'sungguh-sungguh menikah!" Pemuda itu berbisik perlahan sekali di telinga Rani, "It's a sad, yet happiest fact. I'm still a singleton. Not really a married man like the world already knew. Pernikahanku yang baru beberapa hari ini tak lain hanya sebuah sandiwara belaka! Rencana rahasia Rose dan seorang 'pendeta pengganti' yang bahkan bukan 'Hamba Tuhan' sungguhan!"
"Benarkah semua itu? Unbelievable!" Rani hanya bisa diam, terpaku menatap mata cokelat Orion yang setajam elang. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap, antara belum bisa percaya begitu saja sekaligus ingin ikut berbahagia. Selama beberapa waktu berada di tempat ini, baru hari ini ia melihat wajah Orion tampak begitu cerah bak sinar matahari Evernesia di musim kemarau. Pemuda itu mengangguk gembira.
"Astaga. Pernikahan kalian tak resmi secara negara, palsu pula. Bagaimana mungkin Lady Rosemary tega berbuat hal serendah itu terhadap pria sebaik dirimu?"
Mendengar celetuk Rani itu, aura Orion mendadak sedikit mendung. "Kurasa ia hanya ingin tak terlihat seperti wanita kelas atas yang kesepian. Lalu aku dijadikan, well, her toy boy?" Raut wajah Orion berubah lagi. "Hei, apa kau baru saja berkata 'pria sebaik diriku'? Why are you so sure that I'm a kind guy?" Orion masih terus tersenyum, kali ini lebih menggoda, seakan ingin dikecup lagi dan lagi. "Kau ini sesungguhnya masih sangat polos. Bukan bermaksud menyindirmu, tapi jujur saja, kau terlalu naif! Syukurlah kita bertemu walau mungkin sedikit terlambat bagiku!"
"Mengatakanmu 'pria yang baik'? Uh, aku juga tak tahu, I really don't know why! Hanya intuisi, mungkin kesan pertamaku saja. I almost blindly trust you. Dan tentu aku juga sangat bersyukur bisa berkenalan denganmu!" Meskipun malu, Rani selalu senang bila teringat 'rasa' bibir tipis Orion yang 'lezat' itu, sensasi memabukkan yang membuatnya ketagihan hingga tergoda untuk mencoba hal-hal yang lebih jauh lagi! "Aku hanya ingin kau bebas dari masalah ini, pasti 'pernikahan'-mu ini hal yang berat! Tapi, sebenarnya apa yang tadi kau lakukan? Kau belum menceritakan semuanya!"
Orion bertambah dekat, ingin rasanya dicurinya lagi satu ciuman dari Rani. Napas keduanya beraroma kopi, bibir mereka nyaris bersentuhan sekali lagi jika saja keduanya tak berusaha mengendalikan diri.
"Hanya satu-dua hal kecil saja. Ingin kukatakan, tapi kedengarannya sangat tak seru. Tunggu saja hasilnya, biar menjadi kejutan manis untukmu!"
"Oh, baiklah! Hanya ada satu 'hal besar' saja yang kupinta darimu, Orion. Aku ingin nanti jika kau betul-betul serius ingin menikahiku..."
Sebelum Rani sempat mengatakan 'hal besar' yang masih mengganjal hatinya, tetiba pintu pantry terbuka lebar-lebar.