(Bagian Dua)
Tentu saja itu hanya dialog 'sandiwara radio' antara aku, Kyo dan teman-teman lainnya. Anehnya, setelah kami membuat rekaman iseng itu, dalam hatiku tumbuh semacam perasaan malu yang menyenangkan. Meskipun aku dan Kyo hanya iseng saja, bercanda ala-ala anak sepuluhan tahun yang hanya niru-niru adegan sinetron cinta-cintaan di televisi kala itu, rasanya kok seru. Apalagi begitu kusadari, kok menyenangkan sekali berdekatan dengan Kyo?
Apalagi mamiku dan mamanya berteman baik, kami sering bertemu. Saat main sepeda bareng keliling kompleks, Kyo sering membiarkanku memimpin rombongan di depan. Sepedaku sepeda mini alias sepeda anak perempuan dengan 'keranjang bunga' di depannya, sedangkan Kyo dan anak-anak lelaki lainnya naik sepeda BMX atau sepeda gunung. Jelas, sepeda mini akan selalu ketinggalan. Aku juga sering main di kebun belakang halaman rumah Kyo yang luas. Ortunya pemilik perusahaan garmen terkemuka yang masih ada hingga saat ini, Kyo sebagai anak tunggal memiliki segalanya. Namun aku merasa rendah diri karenanya.
Saat kami mulai bersekolah usia SMP, Kyo dan teman-teman tetangga mulai jarang berkumpul denganku, kami semua les dan sibuk di sekolah masing-masing hingga semakin jarang bertemu. Lucunya, aku masih sering memata-matai Kyo. Hanya lewat saja main sepeda di depan rumahnya tapi enggan mengetuk pintu pagarnya. Aku minder. Kyo begitu tampan, sedangkan aku hanya Joy, Anak Bebek yang jelek. Siapa 'sih kamu, Joy, berani-beraninya pedekate anak orang kaya? Demikian kuledek diriku sendiri.
Aku mulai perlahan melupakan Kyo dan malah diam-diam suka sama seorang cowok lain yang tak sepantaran. Kali ini usianya jauh di atasku, lebih tepatnya putra guru musikku. Saat itu aktor Hongkong bernama Aaron Kwok sedang naik daun. Cowok bernama Drew itu 11-12 dengan Aaron Kwok. Dengan mata sipit dan potongan rambut mangkuknya yang memesona, Drew yang sering kuintip di sekolah musik sangat berbeda dengan ayahnya yang galak. Mereka berdua adalah anggota salah satu orkestra klasik terkenal di negeri ini, sering tampil di pertunjukan-pertunjukan televisi. Drew ramah dan selalu membuat grogi. Ia sering menjadi guru penilai saat ujian alat musik klasik, satu di antara tiga guru penilai. Kehadirannya selalu membuat permainan musikku berantakan. Drew sering meledekku dan berkata, "Joy, jangan grogi, dong!"
Duh, siapa tidak jadi grogi diliatin cowok seganteng kamu, Drew? Alhasil, nilai ujianku berantakan gara-gara dia, tapi aku senang kok, setidaknya bisa berada di dekat Drew walau hanya sesaat, memalukan pula! Paling tidak pernah diliatin selama beberapa menit, hehehe.
Begitulah, hari dan minggu berlalu, aku hanya bisa berharap saat kursus bisa mengintip atau berpapasan sejenak dengan Drew, yang sayangnya tak pernah bisa jadi guruku. Papinya selalu ada, tidak pernah absen. Alangkah menyenangkan seandainya sesekali aku bisa diajar guru musik muda setampan itu. Bahkan aku pernah melakukan tindakan bodoh bin amat sangat nekat sekali. Diam-diam pergi dari rumah, berjalan ke telepon umum koin yang masih ngetren pada awal tahun 1990-an itu, kutelepon rumah Drew. Bukan untuk berkonsultasi soal musik dengan papinya, melainkan melakukan sesuatu yang sangat konyol! Kuangkat gagang pesawat telepon dan kumasukkan koin 100 perak, dengan tangan dan suara gemetaran kutanyakan sesuatu.
"Koko Drew, bolehkah aku mewawancaraimu untuk bahan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah?"
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H