Alkisah manusia mencoba berkomunikasi dengan para ikan di laut. "Kami biasa berenang menghindar dari daerah bahaya ke tempat yang lebih aman, apakah kalian ingin tahu cara manusia berenang?"
Ikan tak mau diajar manusia, malah berkomentar, "Hah! Apa gunanya? Kami sudah bisa, kok! Kami 'kan makhluk air. Jangan sok tahu kalian. Dasar makhluk daratan!" Ikan merasa sudah piawai. "Sudah sejak lahir kami langsung kenal air! Kalian bahkan tak punya insang dan sirip! Harus belajar renang dulu, sering tenggelam juga!"
Sesungguhnya manusia tidak ingin ajarkan, hanya mau memberitahukan. "Baiklah, Ikan. Ada prakiraan arus air dingin akibat perubahan cuaca di laut bagian utara, sebenarnya kami hanya ingin coba beritahukan, kalian pindah saja ke laut bagian selatan!"
Lagi-lagi ikan membandel. "Halah! Siapa 'sih kalian, berani-beraninya atur penguasa samudra? Paling-paling kalian hanya menggiring, ingin kami masuk ke jaring atau perangkap kalian, jadi bahan pangan! Pergi sajalah kalian kembali. Kalian takkan pernah bisa mengubah pendirian kami. Jangan ajarkan ikan berenang, sia-sia saja, kami sudah tahu semua."
Demikianlah para ikan menolak manusia, jadi pergilah manusia dari dunia ikan dengan tangan hampa.
Keesokan harinya manusia dibuat terkejut. Ikan-ikan yang diajak bicara kemarin semua terapung di permukaan air. Tak lagi hidup, mereka semua telah mati. Sayang sekali, tak bisa lagi diselamatkan, tak ada yang bisa dilakukan.
"Gara-gara perubahan suhu mendadak namun tak ingin bertindak, mereka tak sempat lagi pindah. Merasa sudah paling hebat, pengalaman, gesit berenang, malah tak mau tahu atau siaga saat diberitahukan."
Bisa jadi kita merasa senior, piawai, lebih duluan, lebih berprestasi, lebih hebat dalam satu bidang. Akan tetapi tak selamanya suara-suara 'yang tak sebanding' dengan kita berarti tak perlu didengarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H