(Point-of-view seseorang tak dikenal: )
Susah payah aku terseok-seok kembali ke kurungan atau kandangku kembali setelah diam-diam pergi mengintai Emily, tanpa hasil, tak membawa apa-apa kecuali imajinasi liar yang belum pernah kualami sebelumnya selama hidupku ini.
Baru aku tahu sosok wanita muda itu sangat indah dan menarik. Bahkan aku ingin sekali memilikinya. Cinta? Hah, aku tak pernah tahu apa itu cinta.
Seumur hidupku aku hanya mengenal Si Tua. Dan ia tak mencintaiku! Hanya memeliharaku seperti seekor binatang.
Tapi malam itu aku terduduk kembali di atas lantai kandang kecilku yang bau, lalu mengingat setiap momen yang abadi terekam di benakku. Ingatanku cukup kuat walaupun aku tak pernah belajar apa-apa.
Dan perasaan itu, sensasi itu, naluri kebinatangan itu datang lagi kepadaku,
Kulampiaskan dalam diam. Aku tahu, caranya hanya ini, agar perasaan itu tak berubah menjadi nafsu lain yang jauh lebih parah.
Tadi sebenarnya bisa saja aku menyerbu masuk ke kamar Emily. Membungkam bibir mungilnya yang waktu itu dilumat oleh Ocean. Menjatuhkan tubuh polosnya yang putih bersih mulus itu ke ranjang lalu melakukan apa yang ingin kuperbuat saat ini. Ia takkan bisa melawan karena aku sangat kuat.
Melampiaskan semuanya agar Ocean takkan pernah bisa memilikinya. Takkan ingin menciumnya lagi. Karena satu-satunya gadis muda di pulau ini telah kujadikan milikku.
Dan kubayangkan lagi Emily yang sudah habis kulumat, terbaring telentang tak berdaya dengan tubuh terbuka, terekspos bagaikan bunga mawar pink yang habis tercabik-cabik. Matanya terpejam dan kesakitan menggelinjang dan mengerang, sementara kedua tangannya mencoba menutup tubuhnya yang tak lagi suci.
Dan aku menegang sendiri, mengeluarkan sesuatu, lalu lemas terkulai. Sesuatu yang sangat putih, banyak dan kental, terciprat di lantai dan tembok. Demikian pula darah masih mengalir deras dari luka di kakiku yang pincang.