Jika saya perhatikan, banyak rekan penulis bahkan yang lebih mastah dan femes alias banyak dibaca dan laris manis dilanggani mempergunakan kata-kata apa saja 'demi laku'.
Kata-kata 'demi laku' misalnya apa, 'sih?Â
1. 'Disesuaikan' dengan selera pembaca. Sebenarnya tidak masalah, selama masih dalam koridor yang pas. Barangkali memang kata-kata itu sedang viral, naik daun, disukai, banyak disebutkan. Tidak ada kata-kata yang salah, yang ada hanya kata-kata yang 'kurang tepat'.
Bagaimana mungkin bisa kurang tepat? Kata yang kurang tepat untuk digunakan dalam fiksi untuk pembaca umum misalnya kata yang kurang etis atau elok didengar (dibaca). Kadang memang ada penulis yang berani menuliskan kata-kata mbeling, tetapi mbeling bukan berarti asal-asalan.
Dalam Bahasa Inggris saja (yang notabene adalah bahasa internasional), masih dikenal dua kata berawalan huruf F dan S yang hingga kini masih dianggap sebagai kata kasar (dikenal juga dengan sebutan 'the F word'). Walau sudah banyak usaha dilakukan untuk lebih 'memperhalus' maknanya, tetap saja hingga saat ini kedua kata itu masih tidak bisa diterima atau digunakan oleh berbagai kalangan.
Sebisanya, kurangilah penggunaan kata-kata yang terlalu hot, kasar dan to-the-point (misalnya kata-kata konotatif untuk area genitalia, cacian dan makian, kata-kata provokatif dan kontroversial.)
2. Kata yang terlalu nyastra. Sering digunakan penulis pemula, kata-kata yang dikira bisa memberikan efek bagus dan enak dibaca ini sebenarnya mulai menyimpang dari tujuan penulisan. Misalnya apa saja? Pasti sering baca fiksi online menggunakan 'manik mata', 'saliva', 'netra'. Kata 'manik mata' seringkali digunakan untuk menggantikan bola mata, biji mata maupun pupil dan iris. Beberapa puisi menggunakannya, dan memang pada dasarnya is okay, 'manik' bersifat sama dengan bola dan biji, sama-sama bulat. Namun manik juga berukuran kecil, jika tidak sangat kecil. Apakah masih pantas digunakan untuk bagian tubuh manusia?
Saliva adalah sebuah istilah medis atau kedokteran untuk ludah. Banyak penulis enggan menggunakannya karena dianggap 'menjijikkan'. Namun kata saliva juga sangat jarang digunakan oleh dokter gigi, dokter umum, dan iklan pasta gigi terkenal sekalipun. Jadi, mengapa penulis tak mempergunakan kata ludah saja? Kata ludah itu netral dan aman, kok. Kitab suci agama Nasrani dan produk pasta gigi anak saja mempergunakannya. Jangan karena merasa jijik pada sebuah kata lalu enggan dan urung mempergunakan. Lebih baik pilih kata denotasi dan lugas saja daripada kata-kata yang kedengaran hebat, keren, tapi malah bisa jadi ambigu, kurang umum dan 'membingungkan'.
Netra selama ini hanya dikenal dalam kata tuna netra. Penggunaan netra sebagai sinonim mata banyak dilakukan oleh penulis yang berusaha nyastra, padahal sesungguhnya, sangatlah tidak perlu. Kita tak mengenal kata netrahari, air netra dan netra-netra, bukan?
Tidak semua sinonim bisa menggantikan sebuah kata, jadi gunakanlah kata sesederhana mungkin asal cukup tepat makna, bukan asal bagus terbaca dan hebat terdengarnya saja.
3. Kata yang digunakan secara berlebihan, misalnya sering terjadi pada kata 'yang, dengan, dari, aku-kamu-ia'. Kata sambung dan kata pengganti orang. Sering penulis menggunakan banyak kata dalam rangka menambah jumlah kata danbmengejar target kata. Karena itu lupa memangkas kata yang kegondrongan.
"Dengan marahnya ia begini, lalu ia begitu, ia tak peduli, lalu ia pergi ke sana dan ke sini, ia bla bla bla lalu bli bli bli..."
Terlalu banyak kata tak perlu dan narasi yang bertubi-tubi dalam kalimat di atas, bukan? Jika saja bisa diberi jeda, dipecah dalam kalimat pendek dan berbeda. Pasti tak akan ada kesan kegondrongan.
Seyogyanya kita perlakukan kata-kata bagaikan batu-batu permata. Jadikan mereka perhiasan abadi dalam literatur Anda. Terakan dan terapkan di tempat yang tepat, maka ia akan berkilau dan membentuk makna yang indah. Fiksi dan non fiksi paling sederhana pun akan berkilau dalam kegelapan, bukan hanya memikat, namun penuh manfaat dan amanat.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H