(point-of-view seseorang atau sesuatu tak dikenal:)
Hhhhh.... hhhh... hhhh....
Hari ini Si Tua itu memberiku sisa makanan basi lagi. Perutku sudah kebal. Tak bisa lagi merasa sakit, mual atau muntah akibat makanan beracun sekalipun. Aku sudah muak dengan segala penderitaan ini!
Aku ingin keluar menatap dunia, walau cuma sekali saja.
Walaupun setelah itu aku akan mati dan pasti mati.
Aku tahu aku bersalah akan sesuatu. Tapi aku juga dendam pada seseorang atau dua di luar sana. Dua orang yang aku tak kenal langsung, namun secara tak sadar 'menyiksaku' di sini hingga hari ini.
Gara-gara mereka, aku ada di sini. Dalam kegelapan yang tak pernah berubah menjadi pagi.
Malam itu aku meraung saking tak tahan pada rantai-rantai berkarat yang membelengguku sejak entah kapan, mungkin sejak aku lahir.
Arrrrgh!
Bersama erangan itu, kusentakkan sekuat tenaga hingga terlepas semua besi tua itu.
Dan aku berhasil!
Diam-diam aku keluar dari ruangan tempat aku dikurung selama ini, kutemukan tangga dan naik ke atas sana, hanya untuk menemui kegelapan malam dan rasa sunyi.
Hingga kudengar alunan yang indah, kurasa itu musik. Walaupun aku tak tahu alat musik apa, tapi aku tahu Ocean yang memainkan alat itu.
Si Tua pernah memberitahukanku Ocean suka main musik. Dan ia adalah salah satu penyebab keberadaanku di dalam kurungan berbau busuk selama ini, tempat berlumut dan gelap nyaris tanpa cahaya, dimana aku duduk dan tidur dalam kotoranku sendiri, sebab tak ada kamar mandi.
Ocean... Ocean... aku sungguh benci kepadamu! Juga Sky, saudaramu! Kalian berdua harus menanggung semua penderitaanku.
Tapi tidak sekarang, akan segera tiba waktunya, itu kata Si Tua.
Kembali ke alunan itu, yang memang sudah sering kudengar sejak kembalinya Ocean dan Sky kemari setelah lama pergi. Aku meringkuk dalam gelapnya bayang-bayang sepanjang lorong menuju sumber suara itu.
Kuintip dari balik pintu ganda. Dua sosok manusia berada di sana. Ocean yang berambut panjang.
Si Tua sering menunjukkan foto-foto Ocean dan Sky hingga aku hafal betul sosok mereka. Ya, itu Ocean si kakak. Tapi siapa gadis muda itu? Cantik.
Aku tak pernah bertemu atau melihat gadis muda manapun seumur hidupku. Siapa dia? Dan mengapa ia tiba-tiba bisa ada di tempat ini?
Kulihat mereka asyik bermain piano (kurasa itu nama alat musiknya), lalu tiba-tiba Ocean melakukan sesuatu pada gadis itu, membuat darahku berdesir dan jantungku berdebar-debar. Itukah yang dinamakan berciuman? Tapi Ocean melakukannya sebentar saja, lalu seperti tersadar, mereka saling menjauh. Dan diakhiri dengan entah rasa terkejut dan malu atau malah diam-diam senang. Aku tak begitu mengerti ekspresi manusia, karena kurasa aku sendiri juga bukan manusia.
Ada rasa cemburu, iri, sakit hati. Aku tahu aku 'dendam' pada Ocean, tapi aku belum punya perasaan apa-apa pada gadis itu. Tidak benci tapi tidak juga suka. Hanya rasa ingin tahu untuk saat ini.
Besok malam aku akan keluar diam-diam lagi. Si Tua tak tahu kalau aku sekarang telah bebas. Aku sudah muak dengan sisa makanan basi dan juga kotor gelapnya sel kamar tidurku.
Gadis itu adalah tujuanku berikutnya. Kalau tak salah, Ocean menyebut namanya Emily.
Oh, indah sekali kedengarannya. Ya, aku datang, Emily. Aku harus mengenalmu juga.
(Bersambung)