Ibuku sosok yang jarang mengeluh, jarang sakit, bahkan hingga usianya yang sudah sepuh, awal delapan puluh.
Sewaktu muda belia, beliau sudah cantik jelita hingga sering dikira noni Belanda. Berteman akrab dengan seorang sahabatnya dari suku Maluku alias Nona Ambon, beliau jika jalan berdua sering dikira Ebony Ivory, sama-sama cantik walau beda warna kulit. Sedari muda walau berbeda latar belakang dan suku bangsa, beliau penuh toleransi. Banyak sahabat dan kerabat hingga kini.
Ibuku sosok luar biasa tetapi begitu down to earth, humble, ramah dan periang. Lahir di Kota Medan Sumatra Utara, anak kedua dari lima bersaudara, beliau salah satu yang mengenyam pendidikan hingga sekolah setara SMU saja, SAA alias Sekolah Asisten Apoteker. Kakak wanita ibu seorang sarjana hukum dan adik ibu seorang dokter gigi. Meskipun demikian, semua saudara-saudari ibuku hebat. Meskipun ditinggal sosok ayah sejak lama, mereka berhasil semua, hingga beberapa pindah ke ibukota Jakarta.
Menikah dengan ayahku yang kini sudah almarhum (tahun 2000), ibu sudah menjadi sopir, koki, guru, segalanya bagi kami sejak kami ada. Aku dan adikku dibesarkan dalam keluarga kecil yang bahagia. Jakarta tahun 1980-an masih sepi. Kami punya taman anggrek mini di depan rumah, segala macam hewan peliharaaan (kecuali ular yang beliau tidak suka) dan aneka permainan.
Ibu suka memasak, masakannya selalu lezat walaupun sederhana. Ibu suka menyulam dan menjahit. Ibu suka membaca. Hobi dan minat literasi turun dari ibu. Beliau memiliki ratusan buku fiksi dan non fiksi. Hingga kini, ibu masih setia membaca karya tulisku. Beliau bangga padaku meskipun aku belum jadi seorang penulis yang berhasil luar biasa. Kuakui, kisah cinta dan tebaran nasihat yang kugaungkan dan kubagikan sebagian besar terinspirasi dari sosok ibuku.
Kadang kusayangkan mengapa almarhum ayah begitu cepat berlalu, namun ibu selalu ada di sisi. Cinta mereka berdua begitu besar dan kuat. Walau ibu tentu sangat sedih dan kehilangan sosok ayah, suami yang ia cinta, selama ini ia kuat bertahan membesarkan kami hingga lulus kuliah. Ibu menemaniku mencari kerja. Ibu selalu mendukung apa yang kukerjakan.
Memang terkadang aku dimarahi saat aku masih muda. Saat itu aku labil, masih belum bisa menerima kepergian ayah dan hidup yang berubah drastis semenjak beliau tiada. Namun kini aku menyesal karena belum lagi sempat membalas semua jasa ibu. Maafkan putrimu ini, Bu, terkadang dulu bandel membantah titahmu, menganggap take it for granted semua yang telah terjadi di antara kita. Andai waktu dapat diputar ulang, sejuta maaf mungkin tak cukup untuk hapuskan dosaku. Ampunilah aku, Bu.
Ibu sekarang dalam keadaan sakit. Stroke akibat dua pembuluh darah otak tersumbat yang menyerang pada bulan Juni akhir telah membuatnya jatuh dan terduduk di kursi roda, padahal tiga bulan silam masih bisa berkendara, menyetir mobil sendirian hingga ke rumah tempatku dan suami tinggal. Beliau kini masih aktif dalam terapi dan pemulihan. Namun semangat ibu tak pernah padam.
Ibu masih kuat dan terus berusaha kuat walau usianya tak lagi muda. Aku seminggu sekali datang menjenguknya, berusaha berbicara banyak kepadanya, apapun yang kurasa. Menghabiskan waktu bersama ibu sebisaku dan semampuku. Apabila sempat, kubawakan ibu masakanku atau makanan kesukaannya. Syukurlah, sekarang beliau tak perlu lagi disuapi, sudah bisa makan sendiri.