Zaman now, rasanya akan cukup sulit jika ingin sama sekali tak mengizinkan anak di bawah umur untuk memegang gawai.
Padahal kita semua tahu dan sudah jadi rahasia umum jika media sosial belum menjadi tempat yang ramah anak.
Jangankan hanya di aplikasi saja, iklan-iklan aplikasi fiksi online gratis dan berbayar bertebaran di jeda game/permainan online yang gratisan sebagai tontonan selingan yang wajib diikuti jika ingin mendapatkan bonus tertentu.
Seringkali iklan yang ditampilkan bukan hanya sinopsis atau cuplikan kata-kata dari fiksi yang diambil, kadang juga foto atau ilustrasi yang hot. Entah pria dengan wanita ala Manga Jepang, ala Korea atau yang seperti di cover-cover, ala bule. Bukan cuma bergandengan tangan, tentu saja.
Jika hanya standar-standar saja seperti di iklan televisi swasta nasional, barangkali tak masalah. Yang jadi persoalan jika iklan yang tampil terlalu panas. Misalnya ilustrasi nyaris tanpa busana, diberi kata-kata ala ah ih uh eh oh, tak perlu panjang-lebar dijelaskan, pasutri pasti sudah mengerti maksudnya.
Kemudian banyak terjadi, anak-anak mengklik link yang tersedia untuk menginstal aplikasi baca tersebut. Dan terjadilah banyak hal yang tentu saja kita kurang inginkan.
Bayangkan, anak kita membaca dan mengoleksi dalam benak kata-kata panas dan kurang pantas nan bertebaran!
Anak-anak di bawah umur sudah banyak yang penasaran, ingin tahu rasanya pacaran. Lalu jadi 'dewasa' sebelum waktunya, bukan matang karena usia dan pendidikan, namun gara-gara bombardir media sosial dan segala hiburan online termasuk seni dan sastra literasi instan!
Banyak penulis kisah semacam itu yang membela (tulisan sendiri) bahwa jika sampai anak di bawah umur membaca fiksi dewasa, maka itu salah orang tua mereka.
"Siapa suruh ninggalin ponsel buat anak/ngizinin anak main hape? Bukan salah penulisnya lah!"
Demikian pernah saya baca di status media sosial seorang penulis femes. Atau pembelaan sebagai berikut:
"Nulis ya bebas saja, jika ada anak kecil kebobolan baca novelku yang belum pantas dibaca mereka, ya bukan salah aplikasi atau salah novelnya!"
Kedengarannya 'sih betul, akan tetapi, tunggu dulu.
Orang tua kadang memang lalai membiarkan anak bermain ponsel sendirian. Kadang malah jika tidak diizinkan, anak bisa saja meminjam ponsel teman mereka. Akan tetapi bukan salah ortu saja. Beberapa oknum penulis dan platform atau penyelenggara media kadang juga kebablasan.
Mengapa?
1. Terlalu terobsesi dengan pendapatan besar hingga menghalalkan segala kata dan cara demi memperoleh pembaca, tanpa mau tahu siapa dan bagaimana akibat dari apa yang ditulis.
2. Platform atau aplikasi terlalu ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya hingga meluluskan begitu saja fiksi yang kurang mendidik dan kurang layak dibaca generasi muda Indonesia.
3. Kurangnya kontrol dan pengawasan hingga sempat banyak sekali novel online hasil plagiasi, terindikasi ATM, hingga yang sudah menjurus ke pornlit beredar luas.
Sudah tugas mulia kita sebagai penulis sebagai 'sumber mata air' untuk menjaga dan memberikan 'air botolan' yang terbaik, termurni bagi pembaca. Walau target utama pembaca dewasa, tak ada salahnya jika kita coba pilihkan kata-kata/diksi yang santun, elegan, enak dibaca namun masih penuh makna, tidak membuat jengah belaka. Pasti bisa kok, walau genre fiksi erotika sekalipun. Tidak selalu harus pakai deskripsi gamblang alat vital manusia, misalnya.
Lalu iklan di media sosial, jika bisa, seyogyanya dikurangi atau dibatasi, agar tidak semudah itu dibaca atau diakses anak di bawah umur.
Bukan salah orang tua saja. Penulis, penyelenggara platform-platform, marilah kita mulai perbaiki mutu, diri dan visi misi internal sendiri. Tulisan literasi/literatur boleh saja anonim, namun makna dan pahalanya tetap mengalir walau penulisnya kelak tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H