Kadang kita sebagai pembaca atau sesama penulis rasanya ingin atau ngebet memberi krisan (kritik saran) pada suatu literatur apapun, entah fiksi maupun non fiksi. Ada juga yang menyebutnya bedah karya sebelum rilis/terbit atau semacam proses diskusi hingga tulisan tersebut bisa 'disetujui' bersama.
Krisan barangkali entah diminta atau dibutuhkan oleh penulis sebelum karyanya siap rilis atau terbit.
Sama seperti diskusi, sebenarnya membedah atau krisan bisa jadi ajang pembelajaran yang positif. Namun selalu ada sisi negatif yang patut kita pertimbangkan sebelum kita memberi krisan.
Kira-kira hal apa saja yang bisa membuat krisan malah jadi 'negatif'?
1. Terlalu banyak diberi krisan akan membuat karya tulis kehilangan orisinalitas dan bahkan ciri khas dan identitas.
2. Terlalu banyak diberi krisan akan membuat penulis malah merasa insecure. Sepertinya rekan penulis tak pernah ada puasnya. Pasti selalu akan ada kekurangan jika terus dicari.
Tidak semua penulis memiliki pandangan yang sama. Mustahil ingin menyenangkan semua orang alias win-win solution.
3. Terlalu banyak diberi krisan akan membuat penulis tidak akan berkembang. Ibarat tanaman yang terlalu banyak dipupuk, terlalu banyak disinari matahari atau terlalu sering disiram, malah akan layu, bukan?
Selayaknya krisan diberikan oleh editor maupun yang berpengalaman. Boleh juga jika dengan santun dan sukarela oleh pembaca setia, namun patut diingat jika tak semua krisan harus dituruti. Semua perbaikan dan revisi terserah dan berpulang kepada sang penulis literatur itu sendiri.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H