Setiap penulis adalah guru kecil walaupun bukan guru sekolah atau dosen di universitas, bawa tas, isinya kertas.
Mengapa?
Kita sebagai penulis setiap hari, minggu atau bulan menerbitkan atau merilis karya. Tak peduli online-cetak, atau terkenal-tidak.
Kita memiliki calon pembaca, pembaca baru maupun tetap. Kita tak pernah berkomunikasi seorang diri. Hanya penulis diari terkunci saja yang karyanya takkan pernah dibaca kecuali kuncinya dicolong atau ditemukan orang lain.
Kita menitipkan kata dalam benak orang lain. Apapun penerimaan dan reaksi orang itu mungkin kita tak peduli. Banyak penulis merasa 'jual putus' saja kepada penerbit atau pembaca. Tulis, terbit, baca, selesai.
Padahal literatur apapun sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia.Â
Apa yang kita baca sejak sekolah dasar (bahkan taman kanak-kanak) bisa sangat mempengaruhi kita. Bahkan jika kita lupa atau tidak lagi ngeh mendetail saking lamanya.
Kita selalu berpikir, baca, terhibur, selesai. Padahal ada esensi yang kita tangkap. Ibarat bola, dioper, kita sambut. Tak mungkin tak bersentuhan dengan kita sama sekali, bukan?
Pengaruh lainnya adalah kita bisa jadi merenungkan, mengambil amanat, bahkan menyukai dan menjalankan apa yang ditulis sebagai bagian dari hidup.
Jadi, masih anggap menulis dan membaca sebagai komoditi jual putus?