Banyak yang ingin menikah atau melakukan pernikahan hanya demi sensasi, pemenuhan kebutuhan lahir-batin, tuntutan usia, dan lain sebagainya. Akibat dari stereotype pernikahan di Indonesia di mana usia layak nikah sudah 'ditentukan' misalnya wanita paling pas sekitar pertengahan 20-an, laki-laki sebelum 30-an. Lalu usia punya keturunan sudah 'dipatok' sekitar 25-35 tahunan, jika dilewati atau dilanggar maka akan terjadi sanksi sosial seperti digosipkan 'tidak lurus', disindir 'kurang subur', dan lain-lain. Maka terjadilah keterpaksaan dan keminderan bagi mereka yang lajang atau jomlo, lalu buru-buru mencari pasangan dan menikah.
Banyak pula yang menikah lalu hanya mengejar citra baik dari awet dan langgengnya saja. Apapun prahara akan diredam sebisanya, misalnya dengan sibuk pamer mesra di depan umum, berfoto wefie mesra lalu diunggah di media sosial, dan lain-lain. Semua demi kelihatan baik-baik saja, tak ada masalah, keluarga bahagia banget. Padahal piring terbang dan KDRT kerap terjadi di rumah. Bukankah itu seperti menyimpan api dalam sekam?
Bukan hanya awet dan langgeng, pernikahan itu harus dijalani dengan bahagia, misalnya:
1. Jatuh cinta setiap hari kepada orang yang sama. Kok bisa? Bisa, dong. Jika kita memiliki selera pada sesuatu, tentu tak akan mudah berubah. Misalnya suka makanan manis, tak suka pedas. Suka pola garis, bukan motif polkadot. Pasangan kita tentunya sedari awal juga adalah tipe atau selera dan idaman hati kita. Jika tidak, mengapa dulu kita jatuh cinta kepadanya?
2. Dengan suka rela mengerjakan hal-hal yang tak bisa dilakukan pasangan. Bukan saling menyuruh atau memerintah, ya. Melainkan berfungsi sebagai anggota tubuh yang saling menopang. Tangan dengan kaki punya fungsi berbeda, jadi saling melengkapi.
3. Saling melengkapi kekurangan, bukan sibuk membetulkan kekurangan atau berusaha memperbaiki kesalahan. Semua pasangan punya kelemahan, tidak seideal tokoh-tokoh protagonis novel atau Drama Korea. Tugas istri melengkapi suami, bukan berkata, "Bukan begitu, tapi begini!" dan sebaliknya. Tugas suami, melengkapi istri. Jika ia sudah lelah, bantulah melakukan tugas-tugasnya, misalnya cucilah piring bekas makan malammu sendiri jika istrimu sedang mengajar anak-anak.
4. Mendengarkan keluhan dan menerima tangis pasangan. Jadilah bahu baginya bersandar. Tidak buru-buru mencapnya cengeng, anak mami, anak papi.
5. Jangan sekali-kali ucapkan cerai, sebab kata-kata kita, lisan maupun tulisan, adalah doa.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H