Bagi banyak penulis (bahkan yang sudah terkenal), nulis ya nulis aja, sama seperti bicara ya bicara aja. Bagi saya, sayangnya tidak bisa semudah itu.
Menurut saya, menulis sangat berbeda dengan bicara. Bicara bisa monolog alias bicara sendiri, silakan dilakukan selama tak dianggap aneh atau kehilangan kewarasan. Caranya tutup pintu dan kunci lalu bicaralah dengan cermin di kamar pribadi.
Menulis selamanya adalah sebuah dialog. Antara siapa? Penulis dan pembacanya. Ada timbal balik, ada sesuatu yang disampaikan.
Menulis tak bisa sembarangan. Ada kata-kata yang searti/bersinonim namun tak bisa begitu saja menggantikan. Ada mata calon-calon pembaca muda yang harus dijaga agar tidak ikut membaca apa yang sebenarnya tidak layak atau belum waktunya mereka baca.
Menulis adalah seni dan hiburan, namun itu bukan berarti bebas diterakan sesuka hati hingga bisa menggunakan kata apa saja.
Sebisanya kuhindari menggunakan kata-kata yang bahkan diriku saja jengah membacanya.
Menulis harus dengan kata-kata sesederhana mungkin. Cukup makna dan mengena, tak perlu nyastra-nyastra alias indah rumit bin njelimet namun tak tepat guna. Buat apa, di mana bagusnya jika pembaca sampai termiring-miring kebingungan?
Setidaknya itulah makna menulis menurut saya. Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H