Dewasa ini kegiatan menulis untuk dibaca orang lain atau untuk kepentingan edukasi sudah menjadi sedemikian mudahnya bagi kita semua. Tak perlu lagi bersusah payah mengetik naskah dengan mesin ketik atau menge-print, memfotokopi dan menjilid untuk dikirim ke penerbit, misalnya.
Tinggal nyalakan gawai, lalu ketik di layar. Atau sediakan keyboard bluetooth yang mumpuni.
Entah demi apapun itu, hanya demi misi kejar uang atau demi menyebar/membagi kata-kata kebaikan bagi sesama, menulis sudah menjadi bagian kehidupan.
Jangankan skripsi, naskah fiksi atau non fiksi, sesungguhnya nulis status di WA atau curcol dan komentar di media sosial juga sudah disebut juga menulis, lho. Tanpa sadar kita semua adalah penulis dan calon penulis yang lumayan hebat dan sudah banyak meluruhkan kata.
Pertanyaannya, sudahkah kita menulis dari hati?
Menulis dari hati berarti menulis tanpa tekanan maupun paksaan, spontan mengalir. Walau demikian, tak berarti boleh bebas 100 persen, alias bablas bin sembarangan. Saringan pertama kita adalah hati kita sendiri juga.
"Sudah layakkah tulisanku ini dibaca orang lain meskipun bukan target utamaku?"
"Sudahkah aku siap dengan semua akibat dari tulisanku ini?"
Sebab beda tulisan dengan lisan itu sebenarnya cukup jelas. Dalam lisan kita masih bisa bicara sendiri alias monolog. Masuk ke kamar lalu kunci pintu, kita bebas bicara dengan 'kembaran diri kita' di kaca cermin, misalnya.
Akan tetapi tulisan adalah sebuah dialog, di mana pembaca kapan saja dan di mana saja berkomunikasi dengan kita. Walaupun kita sudah tiada, tulisan kita akan tetap ada bagi yang mencarinya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!