Momen itu pun takkan pernah terlupakan. Berpelukan, bergenggaman tangan.
PDA banget ya, tapi Joy tak keberatan. Hanya saja, ia merasa risih pada awalnya, mengingat di sebelah mereka banyak motor lain dan mobil turut menanti lampu merah berubah hijau.
"Rey, ehm, aku..."
"Maaf, kau tak mau kupegang? Apakah aku lancang ya?" Rey hendak melepaskan tangannya, namun segera dicegah Joy.
"Tidak, tak apa-apa. Teruskan. Aku.. suka.."
Dulu sama mantannya Joy pernah bergandengan, namun tak seperti kali ini. Saat tangannya dipeluk oleh kedua tangan Rey dalam perhentian sesaat itu, sesuatu mengalir dalam dirinya, bagai darah yang hangat mengaliri pembuluhnya dan menimbulkan rasa yang baru kali ini ia rasakan. Ibarat air hangat menyiram kebekuan hatinya selama ini.
Sayang, lampu merah segera berganti hijau, mereka pun melanjutkan perjalanan ke sebuah mal di bilangan Kapital Evernesia.
Begitu masuk mal, dimana udara di dalamnya menyembur sejuk menyegarkan saat cuaca begini gerah, tiba-tiba tangan mereka bergenggaman. Dan sekali lagi Joy bergidik. Sudah sangat lama ia tak pergi berdua seakrab ini dengan cowok. Duh, kalau ada teman kampus lewat, bisa-bisa ia diledek. Cie, cie. Tapi berpasangan dengan pemuda semanis Rey, hatinya berbunga-bunga. Aku yang malah kurang pede, terlalu tomboy!
Pipinya terasa jengah. Rey masih terus tersenyum menatapnya, sambil berjalan turun naik eskalator mereka terus mengobrol asyik hingga akhirnya memilih sebuah kafe, duduk di pojok yang sepi.
"Selamat ya Joy. Kau sudah jadi sarjana seni. Aku calon sarjana komputer, tapi tahun depan. Semoga bisa segera menyusulmu. " Rey membelikan mereka berdua minuman dan duduk di sisinya. "Kau suka kopi?"