"Don't Judge a Book By Its Cover!" kata sebuah idiom bule.
Namun tampaknya tak semudah itu. Beberapa hari yang lalu saya memajang sebuah foto status di Whatsapp. Yang saya dapatkan bukan komentar baik-baik, malah komentar "Kok bajunya ga bagus? Kok rambutnya berantakan? Potong sedikit dong, rapi sedikit kenapa? Bajunya kok lusuh sih! " dari salah-satu kerabat yang namanya tak perlu saya sebutkan demi netiquette.
Padahal itu dalam rangka acara dadakan pas menjelang pulang kantor. Siapa yang sempat sisir-sisir rambut, apalagi rapi baju, maklum kantor kami informal, cuma pabrik di pinggiran kota, bukan kantor gedongan ber-lift ala Sudirman-Thamrin dimana karyawan harus pakai hak tinggi, setelan dasi dan baju rapi seperti di drakor-drakor. Buat kami, baju kaos dan sendal jepit sudah biasa, jadi jarang banget dandan rapi kecuali ketemu klien. Apalagi saya yang notabene nyentrik, pekerja seni, si pendiam di belakang layar.
Rasanya dikomentari begitu bikin saya agak kapok pajang foto, karena saya memang bukan orang yang showy alias suka selfie, gak merasa diri cantik, dan lain sebagainya. Lain kali saya pajang foto avatar atau karya saya sajalah, biar lebih enak dipandang.
Alasan si pengkritik sebenarnya baik, kalau bukan baik banget. "Karena peduli. Karena tak mau kamu diam-diam diomongin orang." Tapi penampilan bagi saya, juga bagi sebagian orang pun, memang penting tapi bukan segalanya. Yang penting sopan, tak menggoda suami orang atau laki-laki lain, dan tak juga seperti gelandangan-gelandangan amat.
Bila semua orang senang mengkritik demikian, coba pikirkan, betapa banyak ketidaksempurnaan kita akan terungkap.
Saya rasa bahkan lebih banyak contoh lebih parah di media sosial. Badan gemuk sedikit, baju kurang bagus sedikit, dan lain-lain. Bahkan artis dan selebritis yang tampil sempurna pun bisa sesekali, atau malah lebih sering, tersandung komentar jahat.
Selama apa yang kita kenakan atau lakukan tidak mengganggu atau merugikan orang lain, saya rasa, dalam pendapat pribadi ter-humble saya, sah-sah saja. Bila tak suka, mbok ya skip saja.
Apalagi bila zaman sekarang ada konteks yang bernama body shaming, mungkin ini bisa dikategorikan seperti itu. Saya sih tak mau memperperpanjang masalah, apalagi si pengkritik tipe orang yang suka ngomong tapi dirinya sendiri tak mau dikomentari.
Sadarkah kita, bahwa kritik yang dialasi demi kebaikan pun, kadang bisa membuat orang lain depresi. Syukur-syukur bila ia tidak begitu, bisa menerima masukan kita. Namun tak semua orang bisa bilang "Iya, ya, oke, saya mau berubah, saya akan jadi lebih rapih/kurus/cantik/lebih baik!" dan  berubah semudah itu. Jadi, mari sebelum berkomentar, coba kita refleksikan dulu, apakah diri kita sendiri sudah baik, sempurna, dan selalu tampil all-out? Bila badan sendiri belum body goal, sikap masih mencla-mencle, mungkin diam saja adalah pilihan terbaik.