Semua sudah kita lakukan semenjak beberapa bulan bahkan setahun silam semenjak pola hidup kita berubah drastis gegara virus super kecil bernama Corona yang hanya mampu kita lawan dengan menjaga kesehatan aka imunitas dan menghindari kontak jarak dekat dengan penderitanya. Virus yang begitu mematikan hingga layak disandingkan dengan virus perubah manusia menjadi zombie dalam film-film fiksi ilmiah dan horor. Disebut juga "Tentara Allah" untuk memperingatkan manusia-manusia yang sering lupa bahwa "kehidupan sosial" alias social gathering bukanlah segalanya.
Tidak bisa bebas ke mal lagi. Duduk jadi berjarak. Penerbangan berhenti. Perbatasan negara ditutup. Sekolah berhenti tatap muka. Work From Home.
Semua orang gempar pada awalnya. Lockdown, panic buying, dan PHK menjadi trend.
Heran sungguh heran, makin kemari, sementara tenaga-tenaga medis berguguran dan vaksin masih belum ditemukan, makin banyak orang yang seolah pasrah dengan keadaan. Atau masih beranggapan Covid-19 adalah konspirasi, akal-akalan dokter, rumah sakit, produsen masker, dan lain sebagainya.
Bahkan mereka yang paling parah menurut pendapat pribadi saya, berlindung di bawah dalil "Semua penyakit pasti ada obatnya", "Mau mati kapan saja bisa", "Masih banyak penyakit lain yang lebih banyak korbannya"Â dan sebagainya.
Tetangga saya pun mulai jarang yang bermasker. Ngobrol. "Mangan ora mangan, kumpul" dalam istilah bahasa Jawa. Semua anak kecil main di luar dengan bebas, bayi dijemur pagi-pagi tanpa pelindung seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan banyak yang mulai mengepulkan asap rokok dengan bebas dan santainya. Padahal OTG di sekitar bisa siapa saja. Masker bergelantungan di telinga. Hanya pakai face shield seperti seleb-seleb di TV. Abai, abai, abai. Covidiot, kata lidah bule.
Di mana sanksi dan denda berat seperti dikurung dan keluar uang setengah jutaan yang telah ditetapkan pemerintah itu? Kayaknya sih, gak berlaku tuh di gang-gang kecil dan sempit, sepertinya begitu mudah orang lupa atau jadi kura-kura dalam perahu. Jadi, semua pun santai seperti di pantai.
Bila covidiot-covidiot seperti ini dibiarkan, mau tunggu virus hilang sendiri kek, mau ada vaksin kek, bahkan mau sampai 20 atau bahkan 50 tahun lagi, Covid-19 sepertinya takkan pernah berakhir. Penyakit ini adalah seleksi alam. Bukan hanya sekedar sakit flu-batuk-pilek-masuk angin biasa yang dikerok, tidur, besok hilang. Sekarang semua berpulang kepada kita, survival of the fittest.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H