Seringkali kenangan-kenangan kecil dapat jadi peneman sunyi hati, peneguh iman, dan penguat juang. Masa inilah satu penentu penting pribadi kita kini. Bertumbuk-tumbuk memori baru datang, janganlah lekangkan kisah-kisah kanak kita. Beranjak dari lampaulah, maka saat ini jadi lebih berarti....
* * *
Kala es de, aku mengira-ngira bagaimana tahi lalat terbentuk. Apa benar itu dari kotoran lalat? Lalat buang hajat, lalu tahinya mengeras?
"Kayaknya iya deh, Ran," jawab teman sebangkuku di kelas. Kami melirik teman lain yang wajah dan tangannya dipenuhi tahi lalat, lalu tertawa cekikikan.
Memang bukan jawaban yang ilmiah.
Hemm...tahi lalat? Menurut salah satu sumber terpercaya tahi lalat sebetulnya merupakan tanda lahir berupa satu massa yang umumnya berwarna cokelat atau hitam. Ada juga tahi lalat yang warnanya sewarna kulit. Tahi lalat yang berwarna cokelat atau hitam mengindikasikan terjadinya penumpukkan pigmen.
Nah, jawaban ilmiahnya seperti itu.
Dulu di suatu sore yang larut, nenek pernah berkisah bahwa tiap tahi lalat di tubuh punya arti untuk kehidupan kita. Aku yang masih amat kecil hanya mengangguk-angguk sok mengerti. Lalu, Mama tiba-tiba ikut merubung sekembali dari dapur, memperhatikan wajahku, "Randi ada tahi lalat juga ya dibawah hidung? Berarti ada saingan Om Budi, nih," kata Mama. Om Budi adalah adik bungsu Mama. Aku langsung berlari kecil ke kamar dan memperhatikan seksama cermin besar lemari. Ada bayangan anak kecil yang melotot memperhatikan hidungnya dekat-dekat, meraba pelan titik kecil hitam persis di dekat lubang hidung sebelah kanan.
"Oh, iya. Ada ternyata," gumamku.
Tiba-tiba aku teringat bahwa punya Om Budi lebih besar diameternya dan sedikit berambut. Aku berlari kecil lagi ke ruang tengah.
"Ma, berarti nanti tahi lalatku juga bakalan berbulu kayak punya Om Budi?" Mama hanya tergelak, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa kalau iya?". Aku hanya meneguk ludah. Dalam pikiranku kala itu, apa enaknya punya tahi lalat. Berambut lagi. Pasti bikin geli-geli kalau lagi ngupil.